Selasa, 25 September 2007

Penataan Ruang Untuk Mitigasi Bencana Alam

1. PENDAHULUAN
Bencana alam adalah suatu akibat dari kejadian alami (seperti letusan gunung api, gempa bumi, atau tanah longsor) yang menjadi suatu peristiwa fisik dan berhubungan dengan aktivitas manusia. Sifat kerentanan manusia, yang dapat disebabkan oleh tiadanya penataan ruang yang baik atau tiadanya manajemen risiko yang handal, dapat mengakibatkan kerugian pada materi, struktur, dan nyawa manusia. Kerugian yang diakibatkan suatu kejadian alam tergantung pada kapasitas manusia dalam menahan bencana alam. Jadi bencana alam terjadi ketika kejadian alam berhadapan dengan kerentanan manusia. Suatu kejadian alam karenanya tidak pernah mengakibatkan suatu bencana di suatu wilayah yang tidak ada unsur kerentanan manusia didalamnya, misalnya gempa bumi kuat yang terjadi di wilayah tak berpenghuni. Tingkat kerugian juga tergantung pada sifat alami dari kejadian alam itu sendiri, mulai dari sekilat petir yang menghanguskan pucuk pohon kelapa sampai gelombang tsunami yang meluluhlantakkan sebagian kota Banda Aceh pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 yang lalu.

Dalam suatu ruang, beberapa kejadian alam seperti banjir dan longsor dapat dicegah atau diminimasi, sedangkan beberapa kejadian alam lain seperti gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi tidak dapat dihindari, sehingga yang dapat dilakukan adalah meminimasi kemungkinan risikonya. Risiko terjadinya kejadian alam semakin besar apabila kejadian alam tersebut menimpa suatu wilayah dengan kerentanan yang tinggi. Suatu tata ruang wilayah yang direncanakan agar tahan terhadap kejadian alam akan meminimalkan bencana ketika kejadian alam itu terjadi.
Indonesia adalah geografi yang rentan terhadap berbagai kejadian alam. Berdasarkan catatan Walhi, sejak 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah kejadian alam skala besar di Indonesia mencapai 647 peristiwa, meliputi banjir, longsor, gempa bumi, angin topan, tsunami, dll. dengan ribuan korban jiwa dan jumlah kerugian material ratusan miliar rupiah. Sejak itu sampai sekarang banyak lagi kejadian alam yang membuat ratusan ribu orang kehilangan nyawa, termasuk tsunami di Aceh dan Nias, kemudian di pantai selatan Jawa, longsor di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, gempa bumi di Sumatera Barat, dll. Catatan Walhi juga menyebutkan bahwa sejak 1998 hingga pertengahan 2003 sebesar 85% dari total kejadian alam adalah banjir dan longsor. Dengan demikian sebagian besar kejadian alam di Indonesia merupakan kejadian alam yang bisa diatasi, yang dapat diantisipasi kejadian dan risikonya. Sebagian kecil memang belum bisa diduga kapan akan terjadinya, walaupun dalam hitungan geologi, kejadian itu dipastikan akan terjadi, seperti tsunami yang diakibatkan oleh pergeseran lempeng-lempeng batuan bumi di bagian barat dan selatan Indonesia.
Makalah ini membahas aspek penataan ruang dalam pengendalian dampak kejadian alam, yang meliputi gempa bumi, tsunami, banjir, longsor. Jenis kejadian alam lain yang berpotensi terjadi tidak dibahas karena sangat spesifik sepeti letusan gunung berapi atau jarang terjadi seperti badai atau kejatuhan meteor.

2. SEBARAN WILAYAH RENTAN KEJADIAN ALAM
Bagian ini membahas sebaran wilayah rentan kejadian alam, yaitu wilayah di mana kejadian alam seperti gempa bumi, longsor, atau tsunami telah dan diduga akan sering terjadi. Identifikasi wilayah dengan kemungkinan kejadian alam tinggi berguna untuk menentukan pola struktur dan pemanfaatan ruang suatu daerah.
Tingkat kerentanan suatu wilayah sebagai akibat dari suatu kejadian alam diperkirakan dari gabungan tingkat kerawanan dari suatu kejadian alam dengan parameter tentang dampak kejadian alam itu terhadap lingkungan alami dan buatan yaitu khususnya kepadatan penduduk, penggunaan lahan, dan keberadaan obyek vital. Semakin besar kepadatan penduduk maka kerentanan suatu wilayah terhadap kejadian alam akan semakin besar. Jenis penggunaan lahan yang mempunyai tingkat risiko tinggi adalah kawasan permukiman atau kawasan terbangun. Semakin banyak obyek-obyek vital seperti pasar, terminal, bandar udara, pelabuhan laut, pembangkit listrik, bendungan, instalasi air bersih, dll. maka kerugian yang ditimbulkan akibat kejadian alam akan semakin besar. Kerusakan obyek-obyek vital ini akan berdampak pada menurunnya tingkat pelayanan kebutuhan masyarakat.

2.1. Wilayah Rentan Gempa Bumi
Gempa bumi adalah gaya inersia yang timbul oleh goncangan gempa yang dapat berakibat merobohkan bangunan yang tidak didesain tahan gempa. Penyebab ikutan gempa bumi dapat berupa gelombang laut tsunami yang menerjang pantai, perubahan struktur perlapisan tanah, dan longsoran di wilayah perbukitan. Wilayah rentan gempa bumi ditentukan dari tingkat kerawanan dan parameter dampak akibat terjadinya gempa bumi. Analisis kerawanan gempa bumi menggunakan tiga indikator, yaitu: (1) seismisitas, meliputi kedalaman dan magnitude episentrum, (2) struktur geologi, meliputi sesar aktif dan tingkat kerapuhan batuan dimana episentrum tersebut berada, dan (3) percepatan tanah puncak.

2.2. Wilayah Rentan Tsunami
Tsunami adalah gelombang yang ditimbulkan oleh pergerakan lempeng bumi yang terjadi secara tiba-tiba. Gerakan ini menimbulkan gelombang panjang yang umumnya mempunyai periode 20 sampai 200 menit dan dapat menyebabkan kehancuran di daerah pesisir karena tiriggi gelombangnya dapat mencapai beberapa meter di atas batas normal muka air tertinggi (Carter, 1999 dalam Iwan Tejakusuma, 2005).
Kekuatan tsunami yang terjadi di Indonesia, berkisar antara 1,5 - 4,5 skala Imamura, dengan ketinggian gelombang maksimum di pantai berkisar 4 - 24 meter dan jangkauan gelombang ke daratan berkisar antara 50 - 200 meter dari garis pantai. Gempa bumi yang berpotensi menimbulkan tsunami pada umumnya adalah gempa bumi yang episentrumnya terletak di laut dengan kedalaman kurang dari 60 Km dengan magnitude 6,0 skala Richter serta jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau turun (BMG dalam Bambang Marwanta, 2005).
Kerawanan tsunami dipengaruhi oleh (1) kekuatan tsunami dan (2) morfologi pantai. Kekuatan tsunami sebaliknya dipengaruhi oleh rnangnitude gempa bumi. Berdasarkan besarnya kekuatan tsunami dapat diprediksi besarnya rambatan naik (run-up) gelombang tsunami di suatu wilayah pantai. Perkiraan rambatan naik tersebut dapat dihitung dengan menggunakan tabel hubungan umum (masa lalu) antara magnitude tsunami, energi tsunami dan tinggi maksimum rambatan naik (run-up). Faktor kedua, morfologi pantai, berpengaruh mengurangi potensi kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang rambatan naik (run-up). Faktor-faktor morfologi pantai yang berpengaruh terhadap potensi kerusakan adalah tipologi pantai, kemiringan dan ketinggian.

2.3. Wilayah Rentan Longsor
Longsoran (landslide) adalah pergerakan suatu masa batuan, tanah atau rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng (Cruden, 1991 dalarn Karnawati, 2004). Karnawati (2003) membagi penyebab terjadinya longsor ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) faktor-faktor pengontrol, dan (2) faktor-faktor pemicu. Faktor-faktor pengontrol antara lain adalah geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi dan tata guna lahan. Sementara faktor-faktor pemicu meliputi infiltrasi air ke dalam lereng, getaran, dan aktivitas manusia yang mengakibatkan perubahan penggunaan lahan.
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (2000) telah menyusun Pedoman Pemetaan Kerentanan Gerakan Tanah (Longsor). Pedoman tersebut disusun untuk memberi acuan dalam melakukan pemetaan wilayah kerentanan longsor agar dapat diperoleh keseragaman arti dan kualitas peta wilayah kerentanan longsor. Berdasarkan pedoman tersebut terdapat 8 kriteria yang digunakan untuk memetakan kerentanan gerakan tanah: morfologi, kondisi keairan, tanah/batuan, geologi, tata lahan, struktur geologi, aktifitas manusia dan keterdapatan gerakan tanah. Alternatif lain dalam penentuan kerawanan longsor adalah menggunakan empat parameter yang datanya relatif mudah diperoleh, yaitu litologi, kemiringan lereng, dan curah hujan.

2.4. Wilayah Rentan Banjir
Banjir adalah aliran air di permukaan tanah (surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia. Wilayah rawan banjir adalah wilayah yang potensial dilanda banjir yang diindikasikan dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap banjir, yaitu: topografi, tingkat permeabilitas tanah, kondisi wilayah aliran sungui, wilayah meander, curah hujan, dan air laut (airlaut pada saat pasang dapat mengakibatkan pembendungan di muara sungai sehingga menyebabkan aliran sungai meluap).

3. PENATAAN RUANG DAN REKAYASA TEKNOLOGI UNTUK MITIGASI BENCANA ALAM
Mitigasi meliputi segala tindakan untuk mencegah bahaya, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan. Mitigasi merupakan dasar manajemen situasi yang dapat didefinisikan sebagai “aksi yang mengurangi atau menghilangkan risiko jangka panjang bahaya kejadian alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta benda” (FEMA, 2000).
Manajemen risiko kejadian alam dapat dilakukan dengan penataan ruang, melakukan rekayasa teknologi, penguatan masyarakat dan penataan kelembagaan. Makalah ini hanya membahas manajemen risiko kejadian alam ditinjau dari aspek penataan ruang dan rekayasa teknologi.

3.1. Mitigasi Bencana Alam Melalui Penataan Ruang
Manajemen risiko gempa bumi melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1) Mengidentifikasi lokasi-lokasi yang aman dari gempa, antara lain dengan menganalisa tipe-tipe tanah dan struktur geologinya; (2) Mengalokasikan penempatan bangunan (perumahan dan fasilitas umum yang vital seperti rumah sakit, sekolah, kantor polisi, pemadam kebakaran, dan sebagainya) pada wilayah yang aman dari gempa bumi.
Manajemen risiko tsunami melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Pencegahan pembangunan fasilitas umum (rumah sakit, sekolah, kantor frolisi, pemadam kebakaran) pada zona rawan bencana tsunami; (2). Mengidentifikasi daerah-daerah aman dan rute evakuasi dengan mengoverlaykan peta-peta bahaya tsunami dan jaringan jalan; (3). Penyediaan fasilitas penye1amaan, secara vertikal maupun horizontal, sesuai kondisi geografis. Untuk itu dapat digunakan bangunan atau bukit penyelamatan disertai rute-rute penyelamatan; (4). Menyediakan zona penyangga (buffer zone) untuk mengurangi energi tsunami sehingga daya rusaknya menurun; (5). Wilayah yang kemungkinan/potensi tergenang air diperuntukan bagi taman atau area olah raga.
Manajemen risiko longsor melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Mengidentifikasi daerah rawan longsor (area yang rawan getaran bumi m gempa bumi, area pegunungan terutama yang memiliki kemiringan lereng yang curam, area dengan degradasi lahan yang parah, area yang tertutup butir-butir pasir yang lembut, area dengan curah hujan tinggi); (2). Mengarahkan pembangunan pada tanah yang stabil; (3) Pengaturan vegetasi untuk wilayah rentan longsor; (4) Memanfaatkan wilayah rentan longsor tinggi sebagai ruang terbuka hijau.
Manajemen risiko banjir melalui penataan ruang dilakukan dengan: (1). Melakukan pemetaan wilayah rawan banjir, mengarahkan pembangunan menghindari daerah rawan banjir (kecuali untuk taman dan fasilitas olah raga), dan dilanjutkan dengan kontrol penggunaan lahan; (2). Melakukan diversifikasi produk pertanian seperti penanaman tanaman pangan yang tahan terhadap banjir atau menyesuaikan musim tanam; (3). Penghutanan kembali, pengaturan tanah endapan karena banjir; (4). Pengadaan jalur evakuasi apabila terjadi banjir.

3.2. Mitigasi Bencana Alam Melalui Rekayasa Teknologi
Manajemen risiko gempa bumi melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1) mengembangkan teknik-teknik konstruksi tahan gempa, baik bangunan untuk fasilitas umum maupun rumah penduduk, antara lain menggunakan bangunan dan kayu dan bahan ringan untuk rumah karena lebih aman dibandingkan bangunan berat; (2) memverifikasi kapabilitas bendungan dan pekerjaan rekayasa untuk menahan kekuatan gempa; (3). meninjau kembali kesempurnaan fasilitas-fasilitas bangunan yang penting (rumah sakit, sekolah, pemadam kebakaran, instalasi komunikasi) dan ujenyempurnakan fasilitas tersebut jika diperlukan; (4). merencanakan alternatif cadangan air; (5). menyiapkan sistem-sistem komunikasi emergensi dan pesan-pesan kepada khalayak umum yang menyangkut keamanan.
Manajemen risiko tsunami melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1). melengkapi dengan sistem peringatan dini (early warning system/EWS); (2). memperkuat bangunan agar tahan terhadap tekanan gebombang dan arus kuat, a.l. dengan merekonstruksi fondasi struktur agar dapat menahan erosi dan penggerusan oleh arus, membuat lantai dasar menjadi terbuka sehingga mampu membiarkan air laut melintas, menempatkan generator cadangan di lantai yang tidak kena banjir, menyimpan benda-benda berat berbahaya di dalam tanah; (3). memodifikasi sistem transportasi untuk dapat memfasilitasi evakuasi massal secara cepat; (4). menggunakan struktur penahan gelombang laut, antara lain seperti sea wall, sea dikes, breakwaters, river gates untuk menahan atau mengurangi tekanan tsunami.
Manajemen risiko longsor melalui rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan: (1). melakukan perbaikan drainase tanah, seperti perbaikan sistem drainase, hydroseeding, dan soil nailing; (2). membangun berbagai pekerjaan struktural, seperti rock netting, shotcrete, block pitching, stone pitching, retaining wall, gabion wall, installation of geotextile, dsb. sesuai keadaan wilayah rawan longsor.
Sedangkan melalui rekayasa teknologi, manajemen risiko banjir dapat dilakukan dengan: (1). melengkapi dengan sistem peringatan dan deteksi/peramalan banjir; (2). menggunakan media untuk menyebarkan peringatan, melalui radio, televisi, dan sirine;
(3). memperbanyak vegetasi pelindung dan mengurangi padang penggembalaan yang terlalu luas; (4). melakukan relokasi elemen-elemen yang menyumbat jalan banjir, termasuk pembersihan sedimen dan puing-puing dan sungai; (5). membelokkan aliran banjir, dengan tanggul dan bendungan; (6). menggunakan rancangan bangunan tahan banjir, misalnya menaikkan lantai/ruangan di atas kemungkinan batas banjir, memundurkan bangunan dari arus banjir, menstabilkan dasar sungai dengan bangunan konstruksi dari batu atau vegetasi, terutama yang berada dekat jembatan; (7). mengenakan peraturan tentang material bangunan, yang menghindari bangunan bangunan dari kayu dan yang berkerangka ringan pada wilayah rentan banjir; (8). meninggikan sebagian wilayah atau bangunan yang digunakan untuk penyelamatan sementara jika evakuasi tidak dimungkinkan.

4. PENUTUP
Indonesia adalah negara yang rawan terhadap berbagai kejadian alam. Kejadian alam tidak selalu menimbulkan bencana. Kejadian alam dapat dicegah dengan melakukan penataan ruang yang baik, disertai upaya rekayasa teknologi, penguatan masyarakat dalam menghadapi kejadian alam tersebut dan penataan kelembagaan untuk mencegah korban jatuh lebih banyak dan untuk memulihkan kondisi seperti sebelumnya. Penataan ruang untuk mitigasi bencana dilakukan dengan menyesuaikan struktur dan pola pemanfaatan ruang dengan tingkat kerentanan wilayah terhadap berbagai bentuk kejadian alam yang berpotensi untuk terjadi.

--o0o--

Label: ,

Rabu, 19 September 2007

Beberapa Isu Penting Pengembangan Kawasan Bebas Sabang

Bicara tentang aceh, ingatan banyak orang saat ini cenderung tertuju pada operasi darurat militer, dengan korban-korban yang berjatuhan dan kesedihan yang menyayat dari keluarga yang menjadi korban perang. Namun sebetulnya ditengah-tengah suasana pertempuran gerilya yang terutama terjadi di pedesaan tersebut, sedang terjadi geliat pertumbuhan ekonomi yang jika keadaan aman dapat terus terwujud, akan membuat aceh kembali menjadi wilayah yang maju secara ekonomi, sejajar dengan daerah-daerah lain.
Salah satu inisiatif besar yang dilakukan oleh Pemda Aceh adalah mengubah kawasan Sabang sebagai kawasan yang sejak lama stagnan, menjadi kawasan yang maju seperti Batam. Ini bukan saja harapan pemda Aceh, namun juga merupakan salah satu kebijaksanaan pemerintah Pusat untuk masyarakat Aceh, yang sebagian daripadanya telah menderita akibat penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di masa lalu.

Kawasan Bebas Sabang
UU 37/2000 menetapkan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan wilayah Sabang dan sekitarnya sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas adalah identik dengan free trade zone (FTZ), yaitu suatu kawasan di mana berbagai kemudahan diberikan untuk menarik investor dari luar negeri sehingga dari kegiatan perdagangan maupun industri yang berlangsung, tercipta lapangan kerja, alih teknologi, pendapatan negara dan daerah, devisa, dll. Suatu FTZ untuk dapat berhasil dalam konteks persaingan yang sangat sengit saat ini memerlukan persyaratan yang sangat berat.
Persyaratan FTZ adalah: kelengkapan prasarana kelas dunia, insentif yang menarik, manajemen yang profesional, lingkungan permukiman yang menyenangkan, peraturan dan prosedur yang jelas dan mudah, landasan hukum yang pasti, dan jaminan keamanan. Untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (selanjutnya disingkat Kawasan Sabang), semua persyaratan itu perlu disiapkan dalam waktu singkat, agar keinginan menjadikan Kawasan Sabang sebagai sebuah pusat pertumbuhan tidak hanya di wilayah Aceh namun juga secara nasional, melalui dukungannya terhadap pertumbuhan perekonomian nasional dapat direalisasikan segera, sebagaimana yang sangat diharapkan oleh masyarakat Sabang yang pada beberapa puluh tahun yang lalu telah menikmati status kawasan perdagangan bebas namun kemudian dicabut pada tahun 1985.

Strategi
Strategi yang diambil oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), yang dibentuk oleh Dewan Kawasan yang diketuai oleh Gubernur NAD, adalah membangun 5 kawasan usaha, yaitu (a) pelabuhan kontainer, (b) kawasan industri terpadu, (c) kawasan industri perikanan terpadu internasional, (d) kawasan perkantoran, dan (e). Kawasan pariwisata. Selain itu, BPKS juga berupaya membangun bunker penimbunan minyak mentah (oil storage) yang dibawa oleh kapal-kapal dari Timur Tengah ke Asia Tenggara yang berbobot di atas 400.000 DWT yang tidak dapat melewati Selat Malaka.
Pelabuhan kontainer akan terdiri dari lapangan penumpukan (container yard) seluas 26.000 m2, fasilitas pergudangan (container freight station) seluas 2.000 m2, dilengkapi dengan kantor bertingkat untuk administrasi, perusahaan pelayaran dan kantor komersial lain; dan fasilitas karantina. Kawasan industri akan menampung lahan industri skala besar dan kecil, yang akan disewakan kepada investor, dilengkapi dengan industrial resort, pusat bisnis, ruang pameran, dan fasilitas R & D. Kawasan ini diharapkan dapat mengundang masuk industri manufaktur yang mempunyai kandungan impor tinggi.
Di Kawasan Industri Perikanan Terpadu Internasional akan dibangun berbagai sarana yang memungkinkan pemprosesan ikan lebih lanjut sebelum diekspor ke tempat lain. Kawasan Perkantoran terdiri dari ruang-ruang kantor untuk disewakan (Sabang Business Center). Selain bangunan kantor, juga sedang dibangun bangunan-bangunan tempat pemerintah kabupaten/kota di Propinsi NAD menggelar dan mempromosikan produk industri, perdagangan dan pariwisata daerahnya, dikenal dengan kawasan Sabang Fair. Kawasan Pariwisata Pantai direncanakan akan dikembangkan di Iboih, yang memiliki pantai dan pesisir yang sangat potensial untuk pengembangan wisata marina. Walaupun pada saat ini telah terbangun beberapa cottage yang relatif masih sederhana, direncanakan akan dikembangkan suatu resor wisata terpadu yang berkelas internasional dalam rangka menjaring wisatawan dari mancanegara.

Beberapa Isu Penting
Ada enam isu yang perlu diatasi dalam pengembangan Kawasan Sabang.
Pertama, menyangkut peraturan perundangan. UU 37/2000 belum dilengkapi dengan peraturan teknis yang mengatur secara lebih rinci ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut. Hal-hal yang perlu dirumuskan dalam peraturan teknis antara lain adalah masalah pelimpahan perijinan, pembiayaan pembangunan, pembagian pendapatan, pertanahan, dll. Salah satu pelayanan yang diinginkan oleh calon investor dari pengelola kawasan adalah kemudahan dalam memperoleh berbagai ijin yang disyaratkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, yang umumnya dalam bentuk pelayanan satu atap (one stop service). Untuk itu perlu ada pelimpahan wewenang perizinan dari instansi pusat terkait kepada BPKS, atau sebagai alternatif, semua instansi terkait menempatkan stafnya di kantor BPKS sehingga calon investor cukup mendatangi satu tempat untuk mengurus semua persyaratan yang diperlukan. Lama pengurusan dan biaya serta prosedur permintaan ijin-ijin harus ditetapkan dalam peraturan tersebut. Pengembangan dan pengoperasian Kawasan Sabang juga akan menyangkut kepentingan dan urusan tingkat daerah, seperti masalah tata ruang, penyediaan dan pengoperasian prasarana dan sarana, dll. Untuk itu perlu dibuat beberapa peraturan daerah, baik tingkat propinsi (karena melibatkan dua daerah otonom) maupun tingkat kota.
Kedua, isu pembangunan infrastruktur. Infrastruktur terdiri dari infrastruktur keras dan infrastruktur lunak. Infrastruktur keras antara lain jalan, pelabuhan laut dan udara, lahan siap pakai, bangunan kantor dan pabrik, telekomunikasi, listrik, air, pembuangan limbah, dll. Infrastruktur lunak adalah sistem dan prosedur yang memberi kemudahan bagi investor menjalankan usahanya, seperti sistem kepabeanan, sistem keimigrasian, sistem kepelabuhan, sistem penerbangan, sistem perbankan, dll. Infrastruktur keras harus tersedia secara lengkap dan modern, sedang infrastruktur lunak harus mudah, cepat dan efisien. Pembangunan infrastruktur dapat dibiayai oleh swasta, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Instansi Pusat dan pemerintah daerah diharapkan membangun jalan, lapangan udara, air bersih, listrik, pengaman pantai, permukiman, lingkungan, sarana kesehatan dan pendidikan, yang semuanya perlu direncanakan secara terpadu dan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kota Sabang. Untuk pengadaan infrastruktur lunak, dukungan instansi Pusat yang diperlukan berupa sistem, peraturan, tenaga ahli, sarana, promosi, pelatihan, penelitian, inkubasi bisnis, portal internet, dll.
Ketiga, menyangkut insentif. Insentif yang menarik diperlukan untuk mendatangkan investor. Adanya investasi asing diharapkan akan membuka lapangan kerja, meningkatkan penguasaan teknologi dan manajemen usaha, mendorong tumbuhnya industri pendukung, dan mendatangkan devisa dari kegiatan ekspor yang dilakukan.
Insentif dalam bentuk penghapusan bea masuk dan pembebasan pajak telah diberikan oleh UU 37/2000. Namun selain itu, masih diperlukan insentif lain seperti discount harga BBM bagi kapal internasional yang mengisi air dan kebutuhan lainnya di Kawasan Sabang, keringanan pajak bagi industri tertentu, misalnya yang melakukan riset, pelatihan, dll. Insentif ini harus lebih menarik daripada yang ditawarkan oleh pesaing-pesaing Sabang, seperti Penang, Tanjung Pelepas, bahkan Batam.
Keempat, isu manajemen. Untuk dapat bersaing dengan FTZ lain maka pengelolaan Kawasan Sabang perlu dilakukan secara profesional dengan praktek manajemen standar internasional. Untuk itu perlu dilakukan pelatihan dalam berbagai bidang bagi staf BPKS, melakukan outsourcing dari luar daerah/negeri untuk mendapatkan tenaga-tenaga ahli yang tidak ada di Kawasan Sabang atau wilayah Aceh, atau melakukan kerjasama operasional dengan FTZ lain yang lebih maju, dll. Dalam hubungan ini, BPKS dapat membangun suatu pola kerjasama yang sifatnya mutualistik dengan Badan Otorita Batam, misalnya, yang lebih dulu berkembang, terutama. Selain itu, BPKS juga perlu secara seksama memanfaatkan kerjasama ekonomi sub-regional yang telah dikembangkan selama ini, khususnya dalam konteks IMS-GT dan IMT-GT, dengan membuka kerjasama dan hubungan bisnis yang intensif dengan FTZ-FTZ yang ada di negara tetangga.
Kelima, isu tenaga kerja. Investor yang beroperasi di Kawasan Sabang akan memerlukan tenaga terampil dalam jumlah banyak. Pada saat ini tenaga terampil tersebut masih belum mencukupi. Untuk itu agar kekurangan tenaga terampil itu tidak diisi oleh pendatang dari luar Aceh atau luar negeri, maka sejak dini generasi muda di Kawasan Sabang perlu disiapkan untuk menjadi tenaga-tenaga terampil yang siap dipekerjakan. Pengusaha lokal juga perlu disiapkan untuk dapat menjadi penyalur bahan pangan dan industri bagi perusahaan industri pengolahan dari luar yang akan menjalankan usahanya di Kawasan Sabang.
Keenam, isu kelembagaan. Tanpa ada pengaturan yang harmonis antara BPKS dengan Pemkot Sabang, Pemkab. Aceh Besar, Pemprop. NAD maupun dengan Pemerintah Pusat, masing-masing dengan instansi-instansi terkaitnya, maka pembangunan Kawasan Sabang akan mengalami berbagai kendala. Kendala-kendala itu antara lain meliputi: masalah pertanahan, perijinan, pengelolaan, pembiayaan, tata ruang dan lingkungan, dll. Untuk itu perlu dipertimbangkan organisasi BPKS yang otonom dengan mengurangi sebanyak mungkin kewenangan tingkat pemerintahan lain yang dapat menghambat kelancaran pengoperasian kawasan bebas, namun BPKS tetap harus accountable terhadap pemerintah Daerah maupun Pusat. Pola hubungan kerjasama antara Pemkot Sabang dengan BPKS juga perlu dikaji secara mendalam, dengan belajar banyak dari pengalaman yang dihadapi oleh Otorita Batam dengan Pemkot Batam, sehingga dapat terjadi suatu pola kemitraan yang sinergis antara Pemkot Sabang dengan BPKS. Kejelasan terhadap kewenangan, khususnya antara kewenangan Pusat yang diemban oleh BPKS dan kewenangan Pemkot Sabang, perlu ditetapkan untuk menghindari adanya tumpang tindih dan konflik yang mungkin terjadi dalam pengelolaan dan pengusahaan kawasan Sabang di masa mendatang.
Solusi terhadap ke enam isu tersebut perlu dicari sejak dini agar tidak muncul berbagai kendala dalam pembangunan dan pengusahaan Kawasan Sabang.

--o0o—

Tantangan Pemerintah Kota Dalam Pembangunan Perkotaan

Indonesia (250 juta orang) dan Thailand (65 juta orang) adalah dua negara yang segolongan dalam perekonomian: sama-sama negara berkembang, mantan macan Asia pada tahun 1990an, pernah mengalami krisis mata uang, sama-sama berada di jalur demokrasi walau dengan gaya berbeda, dan kini sama-sama ingin menjadi negara maju berikutnya setelah tertinggal dari Malaysia (26 juta orang) apalagi Singapura (4,5 juta orang). Lihat Tabel 1. Thailand bersama Indonesia juga sama-sama menempati posisi terburuk kedua dalam peringkat korupsi di Asia (survei PERC 2007).

Tabel 1. PDB/kapita 4 Negara ASEAN (US Dolar)
Tahun
Singapura
Malaysia
Thailand
Indonesia
2001
20,897
3,746
1,863
775
2002
21,251
3,974
2,027
932
2003
21,974
4,254
2,263
1,092
2004
25,161
4,753
2,539
1,150
2005
26,997
5,159
2,749
1,263
Sumber: UN Statistics, 2007

Di tengah upaya memacu pertumbuhan ekonominya, Thailand menghadapi perubahan politik dalam negeri. Dua hal ini, ekonomi dan politik, saling berkaitan dan memberi pengaruh yang luas pada tingkat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Makalah ini membahas perkembangan ekonomi Thailand, dengan fokus pada upaya pemerintah Thailand mengatasi krisis moneter tahun 1997, outlook perkembangan ekonomi setelah pergantian pemerintahan, hubungan ekonomi luar negeri dan program-program menarik yang dapat menjadi pembelajaran bagi pengambil kebijakan bidang ekonomi di Indonesia.


THAILAND SETELAH KRISIS 1997
Dalam upaya mengakhiri krisis mata uang tahun 1997, Thailand sejak awal telah berupaya meningkatkan ekspornya. Pertumbuhan ekspor tahun 2002 Thailand tercatat sudah mengalami kenaikan sebesar 2,8%.[1] Ekspor mengkontribusi sekitar 60% dari total nilai PDB Thailand, sehingga pertumbuhan ekonomi Thailand turut terangkat cepat. Pada tahun itu juga Thailand telah membayar lunas utangnya sebesar 17 miliar USD ke IMF. Pertimbangannya, Thailand tidak ingin terbebani bunga pinjaman dari IMF yang sekitar 2,9% per tahun. Alasan lain adalah bahwa perekonomian Thailand semakin tumbuh mantap dan investasi asing sudah berdatangan, sehingga tidak memerlukan bantuan dana IMF.[2]

Untuk memacu pertumbuhan ekonomi, Thailand mengalokasikan pengeluaran yang lebih besar daripada penerimaannya. Anggaran defisit pemerintahan Thailand pada tahun 2002 sekitar 3,4%, sengaja ditingkatkan dari 0,8% pada tahun 2001. Kebijakan ekspansif sektor fiskal itu memungkinkan permintaan domestik pada perekonomian Thailand meningkat, karena porsi belanja modal lebih tinggi daripada belanja untuk keperluan lain, dan belanja modal itu lebih banyak dialokasikan untuk pembangunan prasarana yang menyerap lapangan kerja banyak sehingga mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan penduduk termasuk petani yang produknya mengalami peningkatan permintaan.[3]

Hanya empat tahun setelah krisis, Thailand telah berada di urutan ke-5 dari 10 besar negara di Asia Pasifik yang menerima aliran investasi asing langsung terbanyak, setelah Cina, Hongkong, Singapura, dan Taiwan. Saat itu, Thailand menerima aliran FDI masuk sebesar 3,8 miliar USD, cukup signifikan untuk mengembalikan perekonomian Thailand seperti sebelum krisis.[4] Namun laju ekonomi Thailand kemudian melambat. Seperti halnya Indonesia, pertumbuhan ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap gejolak harga minyak. Harga BBM meningkatkan inflasi dan suku bunga. Tahun 2006 ekonomi Thailand mencatat pertumbuhan sekitar 4,2% tidak jauh berbeda dengan 4,5% pada tahun 2005. Pertumbuhan ini adalah yang paling lambat dalam kurun waktu lima tahun terakhir.


DRAMA POLITIK THAILAND
Thailand adalah negara yang sudah terbiasa dengan perubahan pemerintahan. Kudeta pertama di Thailand dilakukan oleh perwira-perwira Thai pada tahun 1932, yang mengakhiri sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Sejak itu percobaan kudeta terjadi sebanyak 17 kali sampai tahun 1991. Pada tahun itu Jenderal Sunthon Kongsomphong menggulingkan PM Chatchai Choonhavan karena krisis politik sebelumnya telah menyebabkan ketidakstabilan jalannya pemerintahan. Sejak itu militer berusaha menjaga jarak dengan hiruk pikuk sektor politik. Namun kudeta tahun 1991 itu ternyata hanya tercatat sebagai kudeta terakhir pada abad ke-20.

Pada awal tahun 2006 Thailand mengalami keonaran politik cukup ramai. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja PM Thaksin Shinawatra disulut oleh kebijakan penjualan 49% saham Shin Corp kepada Temasek Holdings dari Singapura. Perusahaan tersebut dijual hanya dua hari setelah Pemerintah mengubah peraturan rasio kepemilikan saham perusahaan asing dari 25% menjadi 49%. Pelaksanaan tender itu oleh masyarakat dinilai bernuansa KKN. Sejak itu rakyat Thailand berulang kali mengecam PM Thaksin Shinawatra. Gelombang aksi unjuk rasa besar menyebabkan pengunduran diri PM Thaksin pada bulan April 2005. Namun, tidak lama kemudian Thaksin Shinawatra menyatakan kembali menjabat sebagai PM. Sejak kembalinya PM Thaksin Shinawatra, situasi politik di Thailand mengalami ketidakpastian terus menerus. Berbagai persoalan mulai dari investasi yang tersendat hingga kasus korupsi dan narkoba menjadi penyebab masalah pokok ekonomi dan politik di Thailand.

Pada tanggal 19 September 2006, Dewan Reformasi Demokrasi mengumumkan pengambil-alihan kekuasaan dari tangan PM Thaksin Shinawatra. Sejumlah alasan bagi dilancarkannya kudeta tersebut a.l. meluasnya perpecahan di dalam negeri dan masalah dalam pemerintah yang dipicu oleh ketidakpercayaan masyarakat, tuduhan korupsi, dan penyelewengan kekuasaan. Militer kemudian menetapkan keadaan darurat perang, membekukan konstitusi 1997, membubarkan parlemen dan Mahkamah Agung. Kudeta ini mengagetkan banyak pengamat politik asing.[5]


PRAKARSA STRATEGIS YANG MENGEJUTKAN
Pengaruh ekonomi dunia dan reaksi spontan pemerintah juga menimbulkan goncangan ekonomi Thailand pada akhir tahun 2006. Sebelumnya, pada pertengahan tahun 2006, muncul outlook bahwa The Fed akan menurunkan tingkat suku bunganya karena laju inflasi tahunan menurun dari 3,82% (Agustus 2006) ke 1,31% (Oktober 2006). Sementara itu, Bank Sentral Eropa baru saja menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin ke level 3,5% karena inflasi yang tinggi. Ekspektasi akan terjadinya penurunan suku bunga di AS di tengah semakin tingginya suku bunga di Eropa menyebabkan Dolar AS melemah terhadap Euro dan sebagian besar mata uang dunia. Ini menyebabkan Baht juga mengalami penguatan dari 37,6 per Dolar AS di awal bulan Oktober 2006, menjadi 35,1 per Dolar AS pada tanggal 18 Desember 2006.

Dalam waktu kurang dari tiga bulan nilai Baht mengalami penguatan sebesar 6,4%. Penguatan ini lebih cepat dari penguatan mata uang negara lain.[6] Penguatan Baht yang terlalu cepat ini menimbulkan kekhawatiran yang cukup mendalam. Baht yang terlalu kuat akan mengurangi daya saing produk-produk Thailand di pasar dunia. Jika hal ini dibiarkan terus, maka Baht akan melampaui nilai fundamentalnya. Koreksinya dikhawatirkan akan dapat menimbulkan ketidakstabilan di pasar mata uang.

Bank of Thailand (BoT) kemudian membuat sejumlah kebijakan. Pada Desember 2006, BoT mengharuskan perbankan memberlakukan ketentuan bahwa 30% dari deposito mata uang luar negeri akan bebas bunga selama satu tahun. Kebijakan itu untuk mencegah investor berspekulasi terhadap Baht. Para investor yang ingin menarik investasi dalam waktu kurang dari satu tahun diharuskan membayar penalti sebesar 33% dari jumlah yang diinvestasikan. Peraturan yang berlaku juga mengharuskan investasi dilindungnilaikan terhadap perubahan mata uang selama 12 bulan dan aliran investasi jangka pendek harus dihedge sepanjang umur investasi tersebut. Kebijakan pemerintah lain adalah investor asing harus mengurangi kepemilikan sahamnya menjadi maksimal 50% (sebelumnya tidak dibatasi) di perusahaan domestik dalam tempo paling lambat dua tahun. Saat ini terdapat 14.000 perusahaan asing yang telah menanamkan modalnya di Thailand. Jika mereka harus mendivestasi sahamnya, investor domestik belum tentu dapat menyerap saham yang akan dilepas. Kemungkinan ini menyebabkan banyak kalangan meragukan stabilitas ekonomi Thailand. Bisa jadi Thailand kembali memicu krisis finansial di Asia.

Kebijakan itu juga tidak memerhatikan dampak negatif terhadap pasar modal. Akibatnya, kebijakan kapital kontrol yang diambil tidak hanya membuat Baht berhenti menguat, tetapi juga membuat bursa saham di Thailand terkoreksi dengan tajam. Reaksi para pemodal adalah menarik dananya sehingga Baht melemah, seperti yang diharapkan pemerintah. Pelemahan itu diikuti merosotnya indeks SET yang mengalami koreksi 15%, level terburuk selama 16 tahun terakhir. Efek domino terasa di negara-negara Asia lain.[7] Pengendalian modal itu telah memindahkan dana dari pasar modal senilai 23 miliar USD ke luar negeri. Menghadapi kenyataan itu, Menteri Keuangan Thailand kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengecualikan keperluan untuk transaksi saham dari kebijakan pengendalian modal tersebut. Pembatalan kebijakan capital control itu telah dapat menenangkan kembali investor di pasar modal. Bursa saham Thailand pun kembali mengalami penguatan. Kebijakan BoT tidak sepenuhnya gagal karena tujuan untuk mencegah penguatan Baht yang berlebihan dapat dinilai cukup berhasil. Bagaimanapun, BoT sudah mengirim pesan dengan tegas ke pasar bahwa ia tidak menginginkan Baht yang terlalu kuat.

Saat ini gejolak Baht dan bursa saham Thailand sudah tenang. Kekhawatiran terjadinya krisis moneter jilid 2 tidak terbukti. Bursa regional kembali bangkit setelah Filipina, Malaysia dan Indonesia menegaskan tidak akan mengeluarkan kebijakan serupa. Indeks harga saham di Asia kemudian merangkak naik kembali. Walaupun sempat menimbulkan kepanikan sesaat di negara-negara tetangga, namun keterpurukan pasar saham di Thailand sebetulnya memberi berkah bagi mereka.[8]


PERKIRAAN EKONOMI 2007
Tahun 2007 ini pertumbuhan ekonomi Thailand diperkirakan akan berada pada kisaran 5–6%.[9] Kinerja ini tergantung pada produktivitas ekonomi, daya saing komoditas ekspor, dan jadi tidaknya pembangunan beberapa megaproyek, dan ada tidaknya kemajuan dalam reformasi struktural. APBN ditetapkan sebesar 1.48 triliun Baht. Utang negara dibatasi tidak lebih dari 50% PDB, kebijakan ini diumumkan secara luas kepada publik sehingga masyarakat dapat ikut mengontrolnya. Pembayaran utang sebanyak 16% dari pengeluaran APBN, sehingga tersedia cukup banyak anggaran untuk membangun negara.

Penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005 dan program-program penghematan energi akan mengurangi besarnya impor BBM tahun ini. Pertumbuhan ekspor diramalkan sebesar 15.3%, hampir sama dengan tahun 2006. Elektronika, komponen komputer, mobil, dan produk pertanian merupakan komoditas ekspor utama Thailand. Ekspor jasa, utamanya pariwisata, dipastikan akan terus menguat sejak bencana tsunami tahun 2004. Defisit neraca perdagangan akan sekitar $ 4.6 billion–4.9 billion atau 2.5% dari PDB. Defisit ini tidak akan menjadi masalah jika ekonomi berada di jalur pertumbuhan tinggi, dengan ekspor yang terus mendatangkan Dolar ke dalam negeri.

Strategi peningkatan ekspor dilakukan secara bersamaan dengan strategi peningkatan permintaan domestik. Permintaan domestik didorong dengan a.l. program pembangunan prasarana pedesaan yang menunjukkan multiplier effect yang tinggi. Dana untuk pembangunan lebih dari 30,000 desa telah ditingkatkan dari 9.4 triliun Baht (2005) menjadi 19 triliun Baht (2006). Tampak bahwa kebijakan alokasi anggaran pemerintah tidak menganut sistem perubahan yang pro rata.

Karena modal swasta domestik yang diperlukan untuk mengurangi tekanan pada keuangan pemerintah terbatas, maka keikutsertaan swasta asing dalam pembangunan didorong dengan public-private partnership. Pengutamaan pembiayaan untuk infrastruktur fisik menuntut peningkatan kapasitas SDM. Studi Bank Dunia mengenai iklim investasi Thailand menemukan bahwa keterbatasan SDM adalah cukup signifikan di Thailand. Pengeluaran untuk tenaga kerja menyedot sekitar 15% dari rata-rata biaya produksi. Jika kemampuan SDM dapat ditingkatkan maka biaya produksi dapat ditekan.

Agar investasi asing meningkat, Pemerintah Thailand menawarkan insentif pajak untuk reinvestasi selama 3 tahun, dan memberikan insentif untuk perusahaan eksisting jika melakukan proses peningkatan nilai tambah pada produk mentahnya, seperti melakukan pengolahan hasil pertanian.

Thailand menjadikan program privatisasi sebagai salah satu bentuk reformasi strukturalnya. Privatisasi BUMN dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan menambah penerimaan pemerintah, sekaligus untuk mengurangi pengeluaran pemerintah. Master plan privatisasi telah membuat garis besar dan komisi provatisasi juga telah bekerja untuk mengatur, menerapkan, dan mengaudit proses penjualan BUMN. BUMN yang akan diprivatisasi antara lain maskapai penerbangan dan perusahaan minyak. Meletakkan program privatisasi kembali pada jalurnya akan mendorong pertumbuhan pasar modal, membantu pembiayaan investasi infrastruktur, dan meningkatkan kepercayaan investor. PMA diharapkan akan datang dalam jumlah yang lebih banyak, dan ini berarti menambah lapangan kerja.

Namun program privatisasi terhambat oleh protes dari serikat buruh yang khawatir akan terjadi gelombang PHK. Lembaga konsumen juga cenderung anti privatisasi karena harga produk-produk dapat menjadi lebih mahal setelah privatisasi walau biasanya menurun terlebih dahulu. Privatisasi juga terganjal oleh belum adanya peraturan atau keputusan penting, seperti berapa penerimaan negara yang wajar dari penjualan suatu BUMN. Rakyat Thailand tentu tidak ingin BUMN yang ada dijual murah kepada pembeli yang biasanya dari luar negeri.

Selama ini tingkat inflasi Thailand dapat dipertahankan menjadi rata-rata satu dijit angka. Tekanan inflasi tahun ini diduga akan berkurang sejalan dengan kebijakan moneter ketat yang akan memperlambat hasrat belanja konsumen, yang mungkin juga terpengaruh oleh ketidak-pastian dalam sektor politik. Kebijakan perdagangan pemerintah Thailand yang utama adalah secara bertahap mengendalikan kenaikan harga 26 barang pokok dan 150 barang dan bahan bangunan yang sebelumnya dikendalikan secara ketat, untuk mengimbangi peningkatan biaya produksi akibat kenaikan harga BBM. Dengan cara demikian, masyarakat tidak mengalami kesulitan memperoleh bahan-bahan pokok dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengkompensasi kenaikan harga-harga akibat pengurangan subsidi BBM, misalnya.

Keterlambatan dalam realisasi APBN dan melunaknya hasrat belanja konsumen merupakan faktor penurun inflasi pada awal-awal tahun anggaran. Sedangkan kenaikan pendapatan petani merupakan faktor sebaliknya. Jika Departemen Perdagangan dapat mengendalikan kenaikan harga barang-barang konsumsi pada bulan-bulan berikutnya, maka tingkat inflasi akan sekitar 3-4% di 2007. Tahun 2006 yang lalu tingkat inflasi adalah 3.5%.[10] Untuk mengendalikan inflasi, BoT mungkin dapat menaikkan tingkat suku bunga beberapa kali dalam setahun sehingga BoT rate mencapai tingkat 4-5.0%[11]. Dengan mengendalikan faktor-faktor utama penyebab kenaikan harga-harga (harga BBM, gaji dan tingkat suku bunga) yang semuanya memberi pengaruh pada biaya produksi, maka inflasi akan terjaga tetap rendah. Konsumsi swasta diharapkan akan meningkat dengan menurunnya tingkat pajak pendapatan pribadi yang diterapkan sejak Agustus 2006.

Ekspor Thailand cukup prospektif sebagai mesin pertumbuhan ekonomi jika harga komoditas di pasar dunia tetap baik dan slowdown dalam perekonomian AS tidak berpengaruh banyak pada ekspor Thailand. Target ekspor Pemerintah Thailand adalah 14%.[12] Jika ekspor tercapai seperti yang ditargetkan maka defisit neracara perdagangan pada tahun 2007 akan sekitar 2% dari PDB. Pertumbuhan PDB tergantung juga pada apakah musim kemarau panjang akan muncul lagi. Namun Departemen Pertanian telah melakukan banyak upaya untuk memperbaiki sistem irigasi, yang diharapkan akan mampu mengatasi kekeringan di pedesaan. Sektor industri diharapkan tumbuh baik pada tingkat 7%, didukung a.l. oleh tingginya pertumbuhan industri permesinan, kendaraan bermotor, dan tekstil.


RESIKO KEGAGALAN
Resiko pertumbuhan ekonomi Thailand datang dari berhasil tidaknya pelaksanaan investasi megaproyek. Walaupun perkiraan pertumbuhan ekonomi Thailand cukup cerah tahun 2007 ini dengan kondisi fiskal yang sehat, pertumbuhan ekspor baik, dan cadangan devisa cukup banyak, namun adanya ketidak-pastian di sektor politik akan mengikis kepercayaan konsumen dan investor dalam dan luar negeri. Kemungkinan ketegangan sosial di Thailand selatan akan memberikan resiko tambahan bagi perkembangan ekonomi Thailand. Mungkinkan Thailand mengikuti jejak Indonesia dalam memecahkan masalah serupa?

Harga minyak yang meningkat dapat menyebabkan masalah baru, sebab ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap harga BBM dunia. Penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005[13] adalah langkah untuk mengurangi konsumsi BBM impor. Langkah lain adalah mempromosikan penggunaan bahan bakar nabati (BBN), seperti bio-diesel dan gas-alam untuk kendaraan. Upaya pemerintah dalam hal ini adalah a.l. mengurangi bea cukai atas produksi BBN dan mengkonversi kendaraan dinas dan taksi sehingga dapat menggunakan BBN.[14]

Ketidakstabilan sektor politik dapat menyebabkan pelaksanaan pembangunan investasi infrastruktur juga mundur dari jadual yang ditetapkan. Ditambah dengan kemungkinan harga minyak dunia yang tinggi, maka pertumbuhan jangka pendek mungkin akan tidak sebesar yang diharapkan. Jika ini terjadi maka akan ada keterlambatan dalam pemanfaatan dana 42 miliar USD untuk infrastruktur megaproyek. Sifat pemerintahan sementara saat ini juga dikhawatirkan menyulitkan pengambilan keputusan strategis yang mempengaruhi realisasi APBN, implementasi kebijakan dan program, dan penundaan proyek infrastruktur lain, seperti 3 jalur subway di Bangkok yang telah menyebabkan dana sekitar 4.3 miliar USD urung mengalir ke perekonomian Thailand pada waktunya. Investasi megaproyek berpotensi menyumbang 0.5–0.7% pertumbuhan PDB setiap tahun karena ada faktor multiplier effect. Jika investasi ini batal, maka perekonomian akan tumbuh sedang-sedang saja. Kalaupun pemerintahan baru dapat dibentuk, pemerintah diduga masih harus memusatkan perhatian pada pembenahan kembali sendi-sendi pokok kenegaraan seperti amandemen konstitusi dan bukan pada berbagai masalah ekonomi.


KEBIJAKAN DAN PROGRAM TERTENTU
Kemiripan ekonomi Thailand dan Indonesia memungkinkan kebijakan yang sama dapat diterapkan di negara lain dengan modifikasi seperlunya. Beberapa kebijakan dan progran pembangunan ekonomi Thailand yang menarik untuk diamati adalah sbb.

a. FTA dengan Jepang
Untuk meningkatkan ekspor, Thailand menjalin hubungan dagang khusus dengan Jepang melalui kesepakatan perdagangan bebas (Free Trade Agreement). Segera setelah FTA ditetapkan, sedikitnya 20 perusahaan Jepang, yang mayoritas bergerak di sektor otomotif, merencanakan menanamkan modal baru di Thailand senilai 1,15 miliar USD. Menurut Departemen Promosi Industri Thailand, total modal yang ditanamkan perusahaan-perusahaan tersebut diperkirakan mencapai 40 miliar Baht.[15] Perusahaan asal Jepang merupakan penanam modal terbesar di Thailand, dengan kontribusi mencapai 43% dari total modal asing yang ditanam di negara itu. Saat ini terdapat sekitar 1.300 perusahaan Jepang yang beroperasi di Thailand yang mempekerjakan sedikitnya 50.000 karyawan lokal. Thailand telah menjadi home base bagi banyak perusahaan Jepang untuk melakukan ekspor ke negara-negara lain di samping membidik konsumen lokal. Sebagai contoh, Toyota Motor Thailand Ltd. pada bulan Maret 2007 berhasil menjual 22.813 unit dari total penjualan mobil sebanyak 56.021 unit. Isuzu berada di peringkat kedua dengan angka penjualan 13.922 unit. Produksi mobil ini melampaui produksi mobil di Indonesia. Lihat Tabel 2.

Tabel 2. Penjualan Mobil baru Thailand dan Indonesia (Unit)
T a h u n
Thailand
Indonesia
Okt-2005
57.399
35.112
Okt-2006
51.390
20.694
Sumber : Pusat Data Bisnis Indonesia, diolah


b. Insentf Investasi
BKPM Thailand telah menawarkan insentif kepada seluruh perusahaan yang ada di Thailand untuk penanaman modal baru. Perusahaan yang berminat mengajukan rencana investasi dan produksi kepada Badan itu. BKPM antara lain telah menyetujui rencana pengembangan mobil hemat bahan bakar. Para pengusaha harus melengkapi rencana pembangunan fasilitas produksi baru termasuk rencana memproduksi mesin dan komponen untuk mendapatkan insentif. Pengusaha juga harus membuat paling sedikit 100.000 unit mobil dalam lima tahun operasi, dan mobil yang dihasilkan harus bisa dikendarai sejauh lebih dari 20 kilometer dengan satu liter bensin saja. BKPM sebelumnya sudah mengurangi pajak impor untuk meningkatkan daya tarik investasi untuk membangun pabrik otomotif di Thailand.

c. Dukungan untuk UKM
Pemerintah Thailand mendorong UKM dengan berbagai cara yang efektif. Salah satunya adalah dengan melakukan pameran dagang di berbagai negara. Sejumlah 46 perusahaan meramaikan Thailand Exhibition 2007 pada bulan Maret 2007 di Jakarta. Pameran ini diselenggarakan oleh Office of Commercial Affairs Kedubes Thailand di Jakarta mewakili Department of Export Promotion, Departemen Perdagangan Thailand. Produk yang ditampilkan pada pameran meliputi makanan dan minuman, garmen dan tekstil, aksesori, produk kesehatan dan kecantikan serta pariwisata. Mereka juga menampilkan berbagai varietas buah segar, seperti kelengkeng, rambutan, mangga hijau, mangga kuning, buah pum, apel merah mawar dan tamarin manis. Pameran dagang ini merupakan bagian penting dari program One Tampon One Product.

Pemerintah Thailand juga mendirikan BUMN nirlaba Allied Retail Trade Co.[16] untuk melakukan pembelian barang dari pabrik kemudian menyalurkannya ke jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya. Perbankan Thailand, tidak hanya bank-bank BUMN, mendorong pergerakan sektor riel dengan memberi kemudahan kredit bagi pengusaha toko tradisional yang memodernisasi toko masing-masing, yang dengan demikian mempunyai prospek baik untuk mengembalikan poinjaman. Toko-toko tradisional juga diberikan keringanan pajak apabila masuk ke dalam jaringan suplai barang BUMN nirlaba tersebut.

d. Penataan Zona Perdagangan Eceran
Seperti halnya Indonesia, di Thailand jumlah peritel dalam berbagai jenis berkembang pesat sejak ekonomi pulih dari krisis moneter. Sebagian besar peritel di Thailand adalah toko tradisional dan sebagian kecil (dari segi jumlah) adalah convenient store. Supermarket pernah hampir mencapai 500 toko, tetapi kemudian berkurang menjadi 438 toko (2005), sedang hipermarket tumbuh konstan mencapai 29 unit (2005). Lihat Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Peritel di Thailand (unit)
Keterangan
2003
2004
2005
Toko tradisional
273.314
278.278
282.705
Convenience store*
3.861
3.988
5.026
Supermarket
499
474
438
Hipermarket
107
120
135
Pusat perkulakan
23
29
29
Sumber : AC Nielsen, 2006

Pemerintah Thailand sangat serius menangani masalah ritel dan memberlakukan undang-undang ritel Royal Decree for Retail Act yang berisi aturan zona, jam buka, harga barang, dan jenis ritel. Dengan adanya UU tersebut maka Pemkot Bangkok Metropolitan menetapkan zona-zona perdagangan eceran. Misalnya zona barat daya, zona tenggara, dan zona timur laut ditetapkan, kemudian dengan menarik garis vertikal dan horizontal ditentukanlah zona satu, dua, tiga, empat dan lima. Setiap zona diperuntukkan bagi ritel kelompok tertentu agar tidak terjadi ketimpangan persaingan usaha, yang berakibat sekelompok pedagang ritel menurun omzetnya karena keberadaan ritel jenis lain didekatnya, seperti yang terjadi di Jakarta. Persisnya, UU Ritel itu mengatur penerapan zona atau tempat usaha satu jenis ritel, seperti hipermarket berada pada zona empat atau lima, sedangkan zona satu hingga tiga hanya diperuntukkan untuk warung tradisional, grosir dan supermarket. Aturan zona juga melarang pusat perbelanjaan atau toko berskala besar pada daerah padat arus lalu lintas.


PENUTUP
Thailand dikenal sebagai negara tujuan investasi yang menarik dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun pandangan kestabilan politik di Thailand yang mendukung masuknya modal asing telah memudar menyusul terjadinya gejolak politik pada tahun 2006. Reputasinya sebagai negara tujuan investasi mengalami kemunduran. Thailand saat ini membutuhkan langkah yang tepat untuk memulihkan iklim investasinya yang memburuk. Membangkitkan kepercayaan investor agar kembali menanamkan modalnya diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Pemerintah Thailand menawarkan berbagai insentif kepada perusahaan domestik dan asing yang berniat menambah modal.

Thailand mengandalkan ekspor komponen elektronik/komputer/mobil dan produk-produk pertanian lainnya, di samping pariwisata, untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Utang pemerintah dijaga tidak melebihi 50% PDB dan pembayaran utang dipertahankan rendah agar ada ruang untuk membiayai pembangunan.

Kebijakan dan program pembangunan prasarana, sektor pertanian, peningkatan ekspor, upaya mendorong UKM dan dukungan pada ritel lokal patut mendapat perhatian bagi pembuat kebijakan ekonomi Indonesia dalam rangka membangkitkan sektor riil yang saat ini stagnan.

--o0o--



Penulis adalah Ahli Perencana Madya pada Kedeputian Ekonomi Bappenas.
[1] Sebaliknya, saat itu ekspor Indonesia mengalami pertumbuhan negatif, yaitu sebesar minus 2%, yang lebih baik dari minus 23% pada tahun 2001.
[2] Indonesia pada tahun 2006 juga telah melunasi utangnya kepada IMF, yang nilainya lebih besar dari utang Thailand kepada IMF.
[3] Indonesia saat itu tidak dapat melakukan kebijakan anggaran yang ekspansif karena inflasi masih tinggi. Defisit yang besar akan mendorong inflasi lebih tinggi lagi, sedangkan inflasi menyulitkan kehidupan sebagian besar masyarakat karena menyebabkan daya belinya berkurang. Di sisi lain, utang Indonesia sudah hampir 100% dari total PDB. Dengan kondisi itu, maka pemerintah harus mengutamakan kebijakan anggaran yang hati-hati. Jika menjalankan anggaran ekspansif, maka utang akan meningkat, karena anggaran defisit harus ditutup dari utang.
[4] Sebaliknya, Indonesia mengalami aliran FDI keluar dalam jumlah yang hampir sama, yaitu tiga miliar USD. Kemungkinan besar hal ini terkait dengan situasi politik yang menimbulkan tingginya ketidakpastian berusaha di Indonesia saat itu.
[5] Semula negara yang diduga akan segera mengalami pergantian pemerintahan adalah Filipina yang sepanjang tahun 2006 itu mengalami beberapa kali percobaan kudeta terhadap Presiden Macapagal Arroyo. Ternyata Arroyo tetap memerintah sedangkan Thaksin mundur.

[6] Rupiah, misalnya, dalam periode yang sama hanya mengalami penguatan sebesar 1,7% terhadap Dolar AS.
[7] Termasuk Indonesia yang mengalami koreksi atas Rupiah sebesar 0,9%.
[8] Price earnings ratio saham-saham Indonesia, misalnya, menjadi lebih atraktif dengan tidak diterapkannya capital control. Indonesia menjadi berpeluang menerima dana limpahan dari fund hedgers yang meninggalkan Thailand.
[9] Analisis ini didasarkan pada ADB, Asian Development Outlook 2007 Update.
[10] Jauh lebih rendah dari inflasi di Indonesia yang ditargetkan sebesar 6% pada tahun 2007.
[11] Cukup rendah dibanding BI rate yang sebesar 8-9% saat ini.
[12] Sebagai perbandingan, harapan pertumbuhan ekspor Indonesia adalah sebesar 20% (2007).
[13] Di Indonesia hal ini dilakukan pada bulan Oktober 2005.
[14] Kebijakan ini mungkin baik juga diberlakukan di Indonesia.
[15] Upaya Indonesia dan Jepang membentuk FTA terkendala oleh peraturan pelaksanaan UU Penanaman Modal yang masih belum selesai.
[16] Dengan modal kerja ”hanya” sekitar Rp. 80 miliar (9,1 juta USD).

Tantangan Pembangunan Perkotaan

I. PENDAHULUAN
Indonesia seperti halnya negara-negara lain di dunia, akan terus mengalami urbanisasi. Urbanisasi memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan industri, jasa dan komersial yang berlokasi di kota-kota yang menyebabkan aliran pendapatan yang cepat diantara pelaku-pelaku ekonomi. Kota-kota, besar maupun kecil, selain memberikan pendapatan juga menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mengurangi tingkat kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan. Dengan demikian perkembangan kota-kota perlu dijaga keberlanjutannya agar tetap produktif.

II. KOTA PRODUKTIF
Agar produktif, kota-kota perlu memiliki prasarana dan sarana kota yang efisien dan memenuhi kebutuhan penduduk untuk melakukan kegiatannya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, dll. Dengan gap yang besar antara kebutuhan dan kemampuan pendanaan pembangunan infrastruktur di berbagai kota saat ini, upaya-upaya terobosan perlu dilakukan, antara lain dengan menyediakan sumber-sumber pendanaan murah dan menyusun sistem pengoperasian dan pemeliharaan yang efisien dan efektif. Kota-kota dengan demikian memerlukan strategi pembangunan kota masing-masing.
Migrasi penduduk dari perdesaan dan kota-kota kecil perlu dikelola secara baik, dengan memberi ruang gerak bagi pendatang baru dan menegakkan peraturan tata ruang secara tegas untuk menghindari penggunaan ruang secara tidak legal. Upaya kemitraan perlu dilakukan dengan penduduk pendatang yang tidak mampu merespon dengan baik terhadap tuntutan-tuntutan kehidupan kota. Kemitraan ini diupayakan untuk menciptakan peluang-peluang baru untuk memobilisasi sumber-sumber yang ada, dengan antara lain mengaitkan sektor informal dengan sektor formal dalam pengadaan prasarana, pemberian layanan kota, dll.[1] Berkaitan dengan penguatan kemitraan dengan penduduk yang kurang mampu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pembangunan kota secara simultan. Partisipasi organisasi berbasis masyarakat (dalam/luar negeri) berpotensi memberikan hasil yang lebih maksimal sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman serta kepercayaan yang dimiliki. Desentralisasi dan demokratisasi pemilihan kepala daerah akan mempercepat perwujudan pemerintahan kota yang responsif terhadap tuntutan masyarakat. Pembangunan perkotaan yang berhasil menuntut penerapan good urban governance yang efektif.

III. PERAN KOTA DI MASA DEPAN
Di masa depan kota-kota di Indonesia perlu mengarah pada terwujudnya kota-kota yang berdaya saing tinggi, untuk dapat menarik pengusaha, modal dan orang-orang berbakat dari dalam (perdesaan) dan luar negeri, sehingga semakin mendorong produktivitas dan dinamika kota. Dalam hal ini penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan kota akan merupakan keharusan. Urban planning perlu mengadopsi strategi penyediaan prasarana, pengembangan SDM, pengadaan layanan umum, pemrosesan perizinan, dll. berbasis teknologi informasi untuk memberikan kemudahan bagi penduduk kota. Email dan internet kini banyak digunakan di negara-negara maju untuk memberi informasi kepada penduduk kota mengenai hak dan layanan terbaru yang tersedia bagi mereka, dan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan tingkat lokal.[2]

IV. MASALAH KOTA
Selain tuntutan-tuntutan pembangunan kota yang akan dihadapi dalam jangka menengah dan panjang tersebut, kota-kota menghadapi berbagai permasalahan aktual yang perlu dihadapi segera. Masalah-masalah itu antara lain sebagai berikut.
Masalah Pelayanan Umum. Air bersih dari PDAM hanya dapat dinikmati oleh 51,7% dari jumlah penduduk kota. Penduduk kota lainnya harus memperoleh air bersih dari sumber-sumber alam langsung. Sistem pembuangan sampah hanya mampu melayani 32% dari seluruh penduduk perkotaan. Beberapa kota bahkan tidak mempunyai sistem pembuangan sampah yang memadai. Hanya 58,7% dari seluruh volume sampah kota yang diangkut, selebihnya dibakar di tempat atau dibuang ke sungai.
Dalam penggelontoran air limbah, jumlah penduduk perkotaan yang mendapatkan pelayanan dari pemerintah kota hanya 25,5%, selebihnya menggunakan sistem on-site yang tidak ramah lingkungan. Saluran drainase perkotaan terdapat pada 88% dari seluruh jumlah kelurahan di kota-kota, namun saluran drainase yang baik hanya terdapat di 48,4% dari seluruh kelurahan dan desa. Selebihnya dibangun tanpa mengindahkan wilayah tangkapan air, sehingga menimbulkan kemampetan atau genangan, yang berpotensi menyebabkan buruknya kesehatan masyarakat. Pemerintah kota-kota juga menghadapi keterbatasan jaringan jalan dan tingkat pelayanan angkutan umum kota yang menyebabkan kemacetan dan kesulitan melakukan pergerakan.
Masalah Kemiskinan. Selain masalah tingkat pelayanan yang rendah, kota-kota besar menghadapi masalah sosial ekonomi berupa banyaknya penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Jumlah penduduk miskin ini melonjak pada saat krisis ekonomi, namun kemudian mulai menurun. Menurut BPS, pada tahun 2001 tercatat ada 8,5 juta orang penduduk perkotaan di Indonesia yang tergolong miskin, jumlah itu adalah sekitar 9,76% dari jumlah penduduk seluruhnya.[3]
Masalah Lingkungan. Kualitas lingkungan kota-kota besar di Indonesia umumnya di bawah standar universal. Polusi udara buruk karena BBM yang masih mengandung timbal dan asap kendaraan yang tidak tersaring baik, polusi suara juga semakin terasa karena bunyi mesin kendaraan umum yang melebihi ambang toleransi. Berbeda dengan Singapura yang sejak awal berorientasi pada angkutan umum, sehingga kendaraan pribadi tidak merupakan kebutuhan pokok, kota-kota di Indonesia terjebak pada pertumbuhan kendaraan pribadi yang tidak terkendali karena angkutan kota tidak mampu memenuhi kebutuhan layanan pergerakan penduduk. Air tanah yang menjadi sumber bagi sebagian penduduk kota-kota kualitasnya kurang baik karena tercemar limbah rumah tangga dan industri. Banjir di berbagai kota terjadi karena pengendalian pemanfaatan lahan di wilayah tangkapan air yang tidak efektif.
Masalah Tata Ruang. Upaya penataan ruang kota-kota seringkali tidak diimbangi dengan pengelolaan penggunaan lahan yang efektif sehingga menimbulkan kesemrawutan kota, yang terwujud dalam penggunaan tempat-tempat umum bagi kegiatan PKL, seperti trotoar/pinggir jalan, taman, terminal/stasiun, kolong jembatan, dll. Keterbatasan sarana rekreasi yang murah menyebabkan penduduk kota menggunakan jalan atau gang sempit sebagai tempat bermain sepakbola. Permukiman kumuh tumbuh di berbagai sudut kota, khususnya di sempadan sungai, jalur kereta api dan di lahan-lahan kosong. Meningkatnya jumlah penduduk kota menyebabkan kampung-kampung kota semakin sesak, tidak sehat dan rawan kriminalitas.

V. PERAN PEMERINTAH KOTA
Dalam era otonomi daerah yang luas sekarang ini, peran pemerintah pusat dalam pembangunan perkotaan secara langsung dengan sendirinya semakin berkurang. Kalau pada awal era pembangunan, pemerintah pusat cenderung merencanakan dan melaksanakan berbagai unsur pembangunan kota, maka kewajiban dan tanggung jawab pemerintah pusat kini lebih pada memfasilitasi pemerintah daerah agar dapat menyelesaikan masalah-masalah seperti yang diuraikan di atas. Walaupun terbatas pada memfasilitasi, namun perhatian pemerintah pusat terhadap masalah-masalah pembangunan perkotaan harus tidak berkurang. Pemerintah pusat perlu memberikan dukungan kepada pemerintah daerah, khususnya yang kapasitasnya lebih terbatas, dalam berbagai bentuk yang mungkin. Bentuk dukungan itu harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah.
Tiga hal yang kiranya dibutuhkan pemerintah daerah dalam pembangunan perkotaan adalah pendanaan, SDM dan efisensi dalam pengelolaan kota.
Dana pembangunan di daerah (APBD) yang dapat digunakan untuk membangun prasarana dan sarana kota, yang dulu dibantu pusat melalui proyek-proyek APBN, pinjaman luar negeri dan INPRES, kini berkurang banyak, karena sebagian besar dana alokasi umum (DAU) harus digunakan untuk biaya operasional pemerintah daerah, sedangkan PAD dan dana alokasi khusus, serta dana bagi hasil bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA juga terbatas. Kegiatan dekonsentrasi pemerintah pusat dapat mengurangi beban pemerintah daerah dalam membangun atau merehabilitasi prasarana dan sarana kota, namun nilai dan kontinuitasnya tidak dapat diandalkan, karena anggaran pembangunan pusat pun sangat berkurang.
Akses pemerintah daerah secara langsung terhadap dana pinjaman berbunga lunak dari lembaga keuangan internasional terbatas oleh ketentuan larangan melakukan pinjaman langsung. Peran Pemerintah Pusat dalam hal ini menyediakan skema pembiayaan, sering dikenal dengan istilah municipal development fund, dengan mana pemerintah kota dapat membuat pinjaman dana untuk membangun prasarana kota dengan waktu pengembalian yang panjang.
Dukungan kedua yang diperlukan adalah SDM yang profesional. Mengikuti proses desentralisasi, pemerintah daerah kini lebih leluasa untuk menentukan struktur maupun personalia lembaga-lembaga daerah. Hal ini di satu pihak memungkinkan pemerintah daerah untuk menempatkan orang-orang terbaik pada instansi-instansi pemerintah daerah, namun juga dapat terkondisikan untuk harus menempatkan orang-orang yang tidak sesuai dengan kapasitas yang dituntut. Pembangunan perkotaan adalah salah satu tugas pemerintah daerah yang menuntut kapasitas yang tinggi dan beragam, sesuai dengan kompleksitas permasalahan kota yang dihadapi. Dalam pembangunan kota, aparat pemerintah daerah dituntut untuk mengetahui tidak hanya masalah-masalah teknis pembangunan kota, namun juga berbagai aspek lain seperti kemampuan perencanaan dan pembangunan secara partisipatif, kemampuan manajerial yang sesuai dengan kultur kota, pengelolaan kota yang transparan, berorientasi kinerja dan accountable terhadap masyarakat, dll.
Dukungan ketiga adalah efisiensi pemerintah dalam pengelolaan kota. Pemerintahan kota yang efisien amat vital bagi tersedianya pelayanan yang dibutuhkan oleh warga kota dan bagi terselenggaranya kehidupan sosial, ekonomi, budaya dll. yang lestari. Ada dua strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah kota agar bertindak efisien. Pertama, menyesuaikan peran pemerintah kota dengan kemampuannya. Dalam hal ini pemerintah kota perlu meninjau kembali apa-apa yang perlu dilakukan, apa-apa yang tidak perlu dilakukan sendiri, dan bagaimana melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Kewajiban pemerintah yang utama secara umum adalah menjaga ketertiban, mendorong pertumbuhan ekonomi, membangun prasarana dan sarana kota, menyantuni kaum lemah dan melestarikan lingkungan kota. Strategi kedua, adalah meningkatkan kemampuan pemerintah kota dengan menyegarkan institusi publiknya. Ini artinya pemerintah perlu mengkaji ulang aturan-aturan yang mendistorsi mekanisme pasar, mengurangi kegiatan yang menyimpang dari peran dasar kepemerintahan, mengukur tingkat kegunaan dari setiap program pemerintah kota termasuk manfaat dari lembaga-lembaga yang dibentuknya, memasukkan unsur persaingan dalam meningkatkan produktivitas, mengajak dunia usaha dan masyarakat menangani masalah-masalah bersama.
Lebih dari sekedar menjalankan pemerintahan yang efisien, pemerintah juga perlu menjadi lebih cerdas dalam era persaingan global yang semakin keras sekarang ini. Tujuannya adalah untuk menyiapkan pengusaha-pengusaha nasional menjadi pemain yang handal di pasar global, dengan menjadikannya pemain handal di pasar lokal terlebih dahulu.
Untuk ini banyak yang perlu dilakukan di Indonesia. Pertama, mendorong penguasaan teknologi di semua bidang dengan membeli, meminta atau bekerjasama dengan pihak-pihak yang telah menguasainya. Dengan sumber manusia, alam dan pasar yang kita miliki, Indonesia mempunyai posisi bargaining yang cukup tinggi berhadapan dengan pengusaha dari negara yang memiliki teknologi tinggi. Kedua, menyebarluaskan hasil-hasil riset (dari dalam maupun luar negeri) sambil mencari cara-cara pemanfaatannya sehingga dapat digunakan langsung untuk membuat produk baru atau yang lebih baru, yang bernilai ekonomis dan strategis. Ketiga, mendorong perkembangan industri strategis tertentu dengan memberikan bantuan tangible and intangible yang terencana, dikaitkan dengan prestasi ekspor, dan dipantau dengan tingkat kinerjanya.
Keempat, memperkuat posisi pengusaha-pengusaha lokal kelas menengah-bawah agar secara kolektif pangsa pasarnya di dalam negeri meningkat, tanpa membuat mekanisme tata niaga baru yang dalam jangka panjang dapat membuat mekanisme pasar tidak berlangsung. Kelima, ikut aktif mendampingi pengusaha-pengusaha nasional menghadapi perang dagang yang terbuka maupun tersembunyi dengan pengusaha-pengusaha intemasional, yang secara de facto memiliki pengalaman dan kemampuan yang lebih dalam menyusun strategi-strategi bisnis didukung oleh pemerintah mereka secara terselubung maupun terang-terangan.
Ketidak-tertiban yang sudah parah akan sulit ditanggulangi, namun bukan tidak mustahil dapat dikendalikan. Dicontohkan bahwa tingkat kekerasan yang tinggi di kota Cali, Kolombia, dapat diturunkan secara drastis setelah walikota yang baru, yang terpilih karena program utama dalam kampanyenya adalah memerangi tindak kekerasan, melakukan berbagai cara serentak mengepung masalah ini. Tidak lama setelah menjabat walikota ia menyusun program terpadu: instansi-instansi yang terkait dengan ketertiban dan keamanan kota diorganisir kembali, aparat kepolisian diperhatikan kesejahteraan sosialnya, latihan keterampilan menghadapi serangan pelaku kejahatan dilakukan terus menerus, iklan pelayanan masyarakat diperbanyak antara lain berupa anjuran untuk menghargai nyawa dan harta milik orang lain, berlaku sopan tidak hanya di rumah namun juga diluar rumah, mentaati aturan lalu lintas, dan lain-lain.
Katalisator yang menimbulkan tindak kejahatan diberantas tuntas, seperti melarang orang membawa senjata, membatasi waktu penjualan minuman keras sehingga praktis anak-anak muda tidak mempunyai kesempatan untuk membeli. Hasilnya sangat menakjubkan, setelah tujuh tahun berturut-turut angka pembunuhan meningkat, ia menukik tajam, hanya 3 tahun setelah walikota baru memegang jabatan.

VI. KESIMPULAN
Mengatasi masalah perkotaan menuntut upaya lebih dari pemerintah kota. Salah satu solusi yang utama adalah perlunya pemerintah kota mempunyai aparat yang profesional dalam mengelola kota. Mencari tenaga-tenaga profesional untuk mengelola kota adalah di luar kemampuan rata-rata pemerintah kota. Dalam hal ini, pemerintah Pusat kiranya dapat mengerahkan tenaga-tenaga ahli yang bertumpuk di Jakarta untuk menjadi perencana dan pengelola pembangunan perkotaan di daerah-daerah. Dengan insentif yang menarik, tenaga-tenaga muda yang enerjetik maupun karyawan yang sudah berpengalaman diharapkan dapat terjun ke daerah-daerah, menyemarakkan perubahan politik yang terjadi saat ini.
Di waktu-waktu mendatang peran pemerintah kota perlu semakin nyata hadir di masyarakat, namun hal itu harus dilakukan secara cerdas, penuh perhitungan agar efisien, dan melakukannya bersama rakyat, tidak melakukan sendiri terlalu banyak hal dengan cara-cara yang ternyata kurang efektif.

--o0o--

DAFTAR PUSTAKA
Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et.al (eds); Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, 2005
Departemen Pekerjaan Umum, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota), 2005
Gilbert, Alan dan Gugler, Josef; Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, 1996
Grand, Julian Le and Robinson, Ray; The Economics of Social Problems, 1984
Pradhan, Pushkar K; Manual for Urban Rural Linkage and Ruiral Development Analysis, 2003
Rondinelli, Dennis A.; Applied Methods of Regional Analysis, The Spatial Dimensions of Development Policy, 1985
Rydin, Yvonne, The British Planning System, an Introduction, 1993
World Bank, The State in a Changing World, 1997.

[1] Upaya ini juga harus dilakukan secara bersama di berbagai kota-kota, untuk memberikan solusi yang menyeluruh secara nasional.
[2] Teknologi mutakhir - remote sensing, satellite mapping, dll, - perlu dimanfaatkan untuk memahami dinamika pertumbuhan kota-kota sepanjang waktu.

[3] Secara absolut penduduk miskin berada terbanyak di kota-kota di pulau Jawa, sedangkan secara relatif terhadap jumlah penduduk total, penduduk miskin perkotaan di Kawasan Timur Indonesia lebih menonjol (rata-rata 16,26% di Maluku, Nusa Tenggara dan Papua, sedangkan di Jawa 9,28%).

Postur Organisasi Perencanaan Pembangunan Nasional Untuk Mewujudkan Indonesia Yang Maju, Mandiri Dan Adil Tahun 2025

A B S T R A K
Masa depan suatu bangsa akan ditentukan oleh sejauhmana bangsa itu dapat menang dalam persaingan antar bangsa-bangsa. Bappenas sebagai institusi perencanaan pembangunan harus berpola pikir strategis untuk membangun daya saing guna mewujudkan Indonesia yang maju, adil dan mandiri tahun 2025. Bappenas perlu mempunyai peran yang lebih terfokus, dengan melepaskan fungsi-fungsi yang dapat dilakukan oleh pihak lain secara lebih baik. Bappenas perlu menjadi institusi yang memfasilitasi terbentuknya gagasan-gagasan strategis untuk diolah menjadi kebijakan pemerintah jangka panjang dan menengah.
Untuk menghasilkan produk yang berkualitas maka postur organisasi Bappenas perlu menjadi lebih efisien, berorientasi pada pelayanan, terbuka, berjiwa wirausaha dan desentralistik. Koordinasi yang baik antara bagian-bagian dalam Bappenas dicapai dengan menerapkan beberapa pendekatan komunikasi, partisipasi, fasilitasi, negosiasi, dll. Koordinasi dapat berjalan baik jika ada kerjasama yang baik antar bagian di lingkungan Bappenas didukung motivasi yang kuat dari seluruh staf Bappenas untuk secara bersama-sama menunjukkan kinerja yang prima bagi masyarakat Indonesia.
Dalam membantu Presiden agar berbagai upaya semua komponen bangsa berlangsung secara terpadu, maka Bappenas perlu secara aktif menyelenggarakan dialog dengan stakeholders, tidak hanya kepada instansi pemerintah lain tetapi juga dengan pihak-pihak lebih luas, seperti dunia usaha, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dll. Bappenas perlu didukung oleh staf dalam jumlah yang memadai dan mempunyai kualitas yang tinggi. Kualitas SDM Bappenas yang diharapkan adalah yang mampu melihat persoalan bangsa jauh ke depan, mampu memberikan alternatif untuk diputuskan atau disarankan kepada Presiden, mampu mengantisipasi tantangan yang menyebabkan visi dan rencana yang ditetapkan dapat tidak terwujud, mampu berkomunikasi dengan isntansi pemerintah lain dan masyarakat luas, dan mampu bekerjasama dalam suatu team dengan konsisten pada kebenaran namun siap mengakui kebenaran orang lain.
Budaya organisasi Bappenas yang perlu dikembangkan antara lain adalah: pemahaman bahwa Bappenas telah berperan sejak awal kemerdekaan sebagai Dewan Perancang Nasional, mempunyai pola pikir yang berskala nasional untuk menjaga keutuhan bangsa, berorientasi mikro dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, cara bekerja yang rasional berbasis data, cara berkomunikasi yang dialogis untuk menyamakan visi dan strategi, memberi peluang bagi berbagai komponen bangsa untuk berpartisipasi dalam merumuskan visi jangka panjang.
Bappenas harus memiliki nilai-nilai inti yang perlu dipahami, diakui dan diwujudkan oleh setiap staf Bappenas dalam berperilaku sehari-hari. Nilai-nilai inti Bappenas a.l.: jujur, mendorong perubahan, obyektif, berpikir positif, berwawasan global, idealis, bermotivasi tinggi, enerjetik, intelektual, mempunyai spirit untuk maju.


DAFTAR ISI

Abstrak 1
Daftar Isi 2
1. Pendahuluan 3
2. Indonesia dalam Konstelasi Persaingan Dunia 4
3. Wujud Indonesia pada Era 2025 dan Persiapan yang Harus
Dilakukan Saat Ini 8
4. Peran Pemerintah dalam Era Globalisasi 11
5. Peran Organisasi Perencanaan Pembangunan Nasional Menuju
Indonesia 2025 15
6. Postur Organisasi Perencanaan Pembangunan Nasional 16

Referensi 21
1. PENDAHULUAN
Menurut Bank Dunia (1997), perkembangan yang terjadi dalam dasawarsa terakhir menunjukkan perlunya peran pemerintah di banyak negara ditinjau kembali. Beberapa hal yang menyebabkan hal itu harus dilakukan adalah: berakhirnya ekonomi komando model Uni Soviet, mencuatnya krisis fiskal (waktu itu) di negara-negara Eropa yang sebelumnya menganut paham negara kesejahteraan (welfare state), suksesnya beberapa negara Asia seperti Singapura, Korea, Taiwan, Malaysia, yang kemudian juga China dan India bahkan Vietnam, dalam menggerakkan ekonomi dan mengurangi kermskinan, dan terjadinya keadaan darurat politik dan sosial di beberapa negara Afrika/Asia/Eropa Timur akibat tidak terpenuhinya kebutuhan paling pokok penduduknya.
Sedangkan menurut Kotler, et.al. (1997) ada enam kekuatan fundamental yang mendasari perubahan seperti itu: (1) meluasnya saling ketergantungan global; (2) meluasnya proteksionisme dan pertumbuhan blok-blok ekonomi regional; (3) transnasionalisasi dari PMA; (4) kemajuan-kemajuan pesat dalam teknologi; (5) meningkatnya konflik politik nasional; dan (6) meningkatnya masalah lingkungan.
Kekuatan-kekuatan ini mempengaruhi negara-negara yang berbeda dengan cara-cara yang berbeda pula. Hal ini selanjutnya menimbulkan pertanyaan mengenai mengapa pemerintah gagal mengatasi masalah-masalah pokok bangsanya. Jika negara-negara tersebut gagal, maka apakah ada yang salah dalam rumusan rencana pembangunannya, atau peran apakah yang harus dilakukan oleh lembaga perencanaan pembangunan.
Makalah ini memfokuskan pembahasan pada peran Bappenas sebagai lembaga perencanaan pembangunan nasional. Pada bagian pertama akan diuraikan posisi Indonesia dalam peta persaingan global, untuk menunjukkan arah kemana bangsa Indonesia harus menuju pada dekade-dekade mendatang. Kemudian akan diuraikan bagaimana peran pemerintah dalam dunia yang sudah banyak berubah seperti diuraikan diatas, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai postur Bappenas yang perlu dilembagakan dalam rangka mempersiapkan negara dan masyarakat Indonesia menuju tahun 2025, dimana bangsa Indonesia melalui RPJPN 2005-2025 telah sepakat untuk mencapai Indonesia yang maju, adil dan mandiri.
Pemikiran ini diharapkan dapat menjadi bahan renungan bagi siapa saja yang bermaksud membenahi institusi Bappenas sebagai salah satu organ pemerintahan yang berperan memikirkan langkah-langkah besar pembangunan bangsa dan negara.

2. INDONESIA DALAM KONSTELASI PERSAINGAN DUNIA
a. Indonesia dalam Peta Persaingan Global
Dalam konstelasi persaingan dunia, pada pertengahan dekade pertama abad ini, Indonesia berada pada posisi yang terbelakang. Indonesia berada pada peringkat kedua terbawah dari 61 negara menurut kriteria daya saing bangsa-bangsa (World Competitiveness Yearbook 2006, IMD). Ada 4 faktor yang dinilai dalam ukuran daya saing antar negara ini, yaitu: kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan kondisi infrastruktur. Sebelumnya, Indonesia pernah berada pada peringkat 47 (2002), merosot menjadi peringkat ke 57 (2003), dan terus menurun hingga tahun 2006 ini. Hal ini karena beberapa negara berhasil menunjukkan kinerja yang lebih baik dari Indonesia sedangkan Indonesia justru menurun kinerjanya karena masalah-masalah politik ekonomi dalam negeri.
Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia juga tertinggal cukup jauh. Negara tetangga, Singapura, tercatat sebagai negara berdaya saing paling tinggi ketiga dalam survei IMD tersebut. Sedangkan Malaysia berada pada peringkat 23, dan Filipina yang kerap mengalami gejolak politik berada pada peringkat 49. Jadi Indonesia dikelilingi oleh negara-negara yang sukses membangun ekonomi bangsanya.[1] Ini menyebabkan timbulnya pertanyaan: mengapa Indonesia tidak berhasil mencapai kemajuan ekonomi yang berarti seperti negara-negara tetangga?[2]

b. Masalah-masalah Mendasar Bangsa Indonesia
Saat ini, Indonesia menghadapi masalah-masalah mendasar yang menyebabkan tingkat kemajuan ekonominya lebih rendah daripada negara-negara sekitarnya. Tingkat stabilitas ekonomi nasional berkisar pada angka di atas 6%, misalnya inflasi selama tahun 2006 tercatat 8%. Sedangkan inflasi tahun 2005 mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu 17%, akibat kebijakan penaikan harga BBM.[3]
Indonesia masih harus menghadapi masalah trade off antara inflasi dan nilai tukar dengan tingkat suku bunga.[4] Akibatnya tingkat pertumbuhan ekonomi berada pada tingkat 5-6%, sementara negara-negara lain dapat mencapai kemajuan ekonomi diatas 8%.[5] Pertumbuhan ekonomi yang rendah itu selama ini karena ekonomi Indonesia hanya didorong oleh sektor jasa-jasa seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, konstruksi, keuangan, dan jasa-jasa lain. Sedangkan sektor penghasil barang yang memberi nilai tambah tinggi secara luas kepada banyak tenaga kerja, seperti industri, pertanian dan pertambangan, menunjukkan pertumbuhan yang rendah.[6]
Kinerja perdagangan dunia Indonesia sejak pada awal dekade ini lebih banyak disebabkan oleh melonjaknya harga komoditas ekspor berbasis sumber daya alam di pasar dunia. Kinerja ekspor Indonesia saat ini masih tergantung pada faktor harga komoditas tingkat dunia. Hal ini menyebabkan mudahnya perekonomian Indonesia mengalami fluktuasi jangka pendek yang berakibat langsung pada kesejahteraan masyarakat karena tingkat tabungan yang rendah.[7] Nilai ekspor yang menjadi target untuk tahun 2007 adalah 100 miliar dollar AS, namun angka ini masih lebih rendah dari negara-negara lain yang ekspornya sudah tinggi sejak lama.[8] Ditinjau lebih dalam, untuk mengenali kekuatan dan kelemahan Indonesia pada dekade ini, pangsa sektor industri manufaktur ternyata menurun, sedangkan tambang, migas, dan pertanian, sektor-sektor berbasis sumber daya alam yang tidak mempunyai nilai tambah tinggi, justru meningkat. Rendahnya pertumbuhan sektor manufaktur, terkait dengan bahan baku yang masih tergantung dari luar negeri.[9] Di pihak lain, barang konsumsi terus menyerbu pasar dalam negeri, menambah kesulitan industri lokal.[10]
Di pasar global, produk Indonesia pada awal dekade 2010an ini juga masih kalah bersaing dengan produk-produk dari China, Vietnam, India bahkan Banglades dan negara-negara ekonomi kecil lain. Salah satu akibat dari pertumbuhan ekonomi yang rendah adalah angka pengangguran yang tinggi, lebih dari 10% dari total jumlah tenaga kerja pada pertengahan dekade sekarang ini.
Indonesia juga menghadapi masalah pengangguran yang berat. Statistik menunjukkan bahwa pencari kerja ini berjumlah 11 juta orang (2006), lebih dari 6 juta orang diantaranya berada di perkotaan, dan sebagian besar berada di Jawa. Jumlah ini setiap tahun semakin bertambah jika ekonomi hanya tumbuh hanya 5-6 persen per tahun.

c. Memahami Kemajuan Pesaing Utama Indonesia
Sebagai negara berpenduduk banyak, Indonesia mempunyai potensi besar untuk tumbuh menjadi negara besar seperti India dan China. Kedua negara ini kini menjadi negara yang sangat prospektif menjadi negara maju dari Asia karena mempunyai visi masa depan yang jelas dan dilakukan secara konsisten. India adalah negara yang telah berhasil mewujudkan visinya menjadi negara pelaku bisnis tingkat dunia. Di bidang ini, pemain bisnis teknologi informasi dari banyak negara maju membuka usahanya di India, khususnya di Bangalore untuk memanfaatkan tenaga ahli teknologi informasi (TI) yang berlimpah dan berupah lebih murah. Di bidang manufaktur, kemajuan India ditunjukan oleh perusahaan baja Mittal Steel yang mengakuisisi banyak perusahaan baja di berbagai negara, sehingga menjadikannya perusahaan baja terbesar di dunia.
India adalah contoh kisah sukses negara Asia yang mempunyai visi yang jelas, yang dirancang oleh pemimpin dan sekelompok perencana dan pemikir. India melakukan liberalisasi dengan meregulasi License Raj pada tahun 1991. Hal itu dan langkah-langkah terencana lain menyebabkan pada periode tahun 2003-2005 pertumbuhan ekonomi India meningkat menjadi 8 persen. Visi dan strategi India bergerak dari strategi outsourcing menjadi strategi pembangunan TI yang kemudian terbukti dibutuhkan oleh bangsa-bangsa di dunia.
Sedangkan China. sejak Deng Xiaoping mencanangkan perubahan sistem ekonomi di tahun 1978, telah beralih dari high centrally planned economy ke managed market economy. Pendorong kemajuan China secara masif adalah kebijakan ekonomi berorientasi pasar yang dilakukan secara konsisten, terciptanya stabilitas politik dalam negeri dengan mempertahankan sistem satu partai, pengembangan sumber daya manusia yang terarah, dan birokrasi yang ramah terhadap bisnis. China pada mulanya menerapkan cost leadership strategy untuk menghasilkan produk jauh lebih murah dari produk buatan negara manapun. Strategi ini menjadikan produk China membanjiri pasar dunia. Dengan laba ekspor yang menumpuk, China kemudian melakukan banyak hal untuk membuat iklim bisnis menjadi sangat kondusif. Di bidang infrastruktur, misalnya, China membangun 20 zona ekonomi khusus dengan prasarana modern sehingga menjadi mesin pertumbuhan ekonomi negara.
Selain India dan China, negara pesaing utama Indonesia adalah Malaysia dengan sektor manufakturnya yang sudah lebih lanjut dibandingkan Indonesia, dan Jepang serta Korea Selatan yang sudah jauh bergerak menuju perekonomian berbasiskan industri jasa modern di samping industri manufaktur.

3. WUJUD INDONESIA PADA ERA 2025 DAN PERSIAPAN YANG HARUS DILAKUKAN SAAT INI
Indonesia harus berupaya membangun daya saing tinggi agar berhasil mensejajarkan posisinya dengan negara-negara sekelas seperti China dan India dan negara-negara pesaing terdekat yaitu Malaysia dan Thailand. Daya saing produk sektor industri di pasar dalam negeri maupun di pasar dunia harus ditingkatkan. Hal ini menuntut masalah-masalah suku bunga, biaya ekonomi tinggi, perburuhan, perpajakan, penyelundupan, dan sebagainya untuk diatasi terlebih dahulu. Diversifikasi produk dan pasar ekspor perlu dilakukan secara sistematis. Produk-produk hasil kerajinan rakyat perlu menembus pasar internasional, sebagaimana produk-roduk China dapat masuk ke seluruh pelosok negeri di Indonesia. Dengan cara-cara demikian maka Indonesia dapat meningkatkan pendapatan rakyat secara signifikan
Untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, maka ekonomi Indonesia tersebut harus berbasiskan knowledge, dengan teknologi yang innovatif agar berbeda dengan produk sejenis yang dibuat oleh China, India, Malaysia, Thailand, dll. Pola ekonomi yang berbasis sumber daya alam (pertanian dan pertambangan tanpa mengalami pengolahan) harus diubah menjadi pola perekonomian berbasis pengetahuan. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi maka pemerintah harus menciptakan kondisi sehingga R&D dilakukan oleh segenap perusahaan (swasta dan BUMN) dan juga oleh penduduk secara perorangan.[11]
Indonesia perlu memiliki visi yang lebih jelas di bidang pembangunan ekonomi. Visi strategis suatu bangsa harus diterjemahkan ke dalam garis-garis pedoman yang pragmatis dan konkrit untuk mengidentifikasi kebijakan yang spesifik untuk memperbaiki daya saing. Menurut Porter (1990), daya saing suatu bangsa terdiri dari daya saing mikro dan daya saing internasional. Daya saing mikro (keunggulan kompetitif) adalah kemampuan perusahaan-perusahaan domestik untuk menjual produk-produknya dalam pasasan global, berdasarkan daya tarik relatif dari harga dan mutu dibandingkan dengan pesaing asing mereka. Perusahaan yang mampu beroperasi dengan biaya rendah, termasuk tenaga kerja murah dan sumber daya alam yang melimpah, memiliki keunggulan kompetitif karena mereka bisa lebih bersaing dalam harga.
Di pihak lain, daya saing internasional suatu bangsa (keunggulan komparatif), menunjuk pada kemampuannya untuk mencapai penghasilan faktor yang tinggi dalam perekonomian global. Bila suatu bangsa bersaing hanya berdasarkan keunggulan tenaga kerja murah, maka bangsa itu harus mempertahankan agar tingkat upah dan kondisi hidup tenaga kerjanya selalu rendah. Karenanya, tujuannya bukanlah semata-mata ikut serta dalam perdagangan internasional tetapi ikut serta dengan tingkat, upah yang tinggi atas dasar keunggulan produktivitas, layanan, mutu, dan inovasi. Dalam hal ini kebijakan publik dapat memainkan peranan yang terpadu.
Pemerintah dengan demikian perlu menetapkan posisi Indonesia yang akan dikejar berdasarkan potensi keunggulan kompetitif dan komparatifnya, sebagaimana India menjadi pemimpin industri TI atau China menjadi negara pemasok produk murah. Indonesia perlu menetapkan visi menjadi negara maju berbasis produk olahan pertanian dan kelautan. Indonesia juga dikenal mempunyai keahlian membuat barang kerajinan dengan kualitas tinggi. Tidak semua bangsa memiliki kemampuan membuat barang dengan kandungan seni yang tinggi. Oleh karena itu Indonesia dapat menjadi penyumbang desain utama dunia untuk aneka produk kebutuhan rumah. Indonesia perlu tidak ketinggalan dari negara-negara Asia seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina yang sedang beranjak ke produk-produk berteknologi kompleks agar bernilai tambah tinggi. Singapura dan Korea Selatan telah mengarah pada teknologi informasi dan perancangan produk. Indonesia dapat mengungguli negara-negara itu dengan desain produk bernilai seni tinggi. Ini adalah kontribusi Indonesia pada ekonomi dunia.
Indonesia juga perlu dikenal dunia sebagai pemilik destinasi wisata yang indah di dunia, dengan Bali sebagai ikon. Indonesia dapat menjadi one stop shopping bagi wisatawan dunia karena variasi potensi wisatanya, a.l. budaya, alam (khususnya eco tourism), kuliner, religi, dll.
Pemerintah harus membuat tenaga kerja Indonesia dapat bersaing dengan tenaga kerja dari Vietnam, India, China, atau Sri Lanka. Untuk dapat menjadi negara sekelas China dan India, maka bangsa Indonesia perlu menghapuskan berbagai faktor penghambat kemajuan, seperti birokrasi pemerintah yang tidak efisien, infrastruktur yang tidak memadai, peraturan usaha yang tidak sensitif pada keperluan berusaha, korupsi yang luas, kualitas sumber daya manusia yang terbatas, dan instabilitas sosial politik.
Berbagai peraturan yang mendukung pertumbuhan ekonomi perlu ditetapkan sejak saat ini, agar setiap unit usaha Indonesia, besar maupun kecil, dapat bersaing di tingkat dunia. Pemerintah perlu membuat undang-undang yang menyangkut perkembangan sektor riel dan membenahi peraturan yang kontradiktif satu sama lain, yang menjelang akhir dekade awal ini masih ada walaupun sejak lama sudah dikenal luas. UU ini dibutuhkan untuk mendukung perkembangan iklim usaha di tengah kondisi yang masih menyulitkan, akibat menurunnya daya beli masyarakat, ekonomi biaya tinggi, birokrasi yang berbelit-belit dan hambatan investasi di daerah melalui perda-perda retribusi saat ini.
Untuk mempersiapkan bangsa Indonesia di masa depan, pemerintah sejak sekarang perlu mengakomodasi riset sebagai dasar maupun arah dari pengambilan kebijakan utamanya di sektor riil.[12] Keterbatasan dana seharusnya menjadi faktor pendorong dilakukannya kajian ini, bukan sebaliknya. Kelemahan kebijakan pemerintah yang tidak berdasar pada knowledge yang mendasar dibuktikan dengan banyaknya peraturan pemerintah daerah yang menghambat laju perekonomian daerah itu sendiri bahkan secara nasional. Hasil lembaga riset maupun institusi perguruan tinggi tidak boleh diabaikan oleh pengambil kebijakan karena hal itu dapat memperlemah daya saing nasional, yang berdampak pada semakin tidak berkembangnya industri lokal.
Pemerintah perlu merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang mengkondisikan agar setiap industri berskala tertentu melakukan riset teknologi dan kemudian melaksanakannya. Aspek legal perlindungan terhadap hasil penemuan harus diperkuat, untuk menghindari pembajakan oleh penduduk negara lain. Hasil kajian riset dari berbagai lembaga harus dapat dimanfaatkan oleh perusahaan besar maupun kecil maupun individu secara bertanggung jawab agar membawa manfaat bagi seluruh penduduk Indonesia.

4. PERAN PEMERINTAH DALAM ERA GLOBALISASI
Dalam menghadapi era persaingan yang lebih keras pada tahun 2020an yad. maka pemerintah dari setiap negara mempunyai peran yang penting. Tanpa peran pemerintah yang tepat, maka suatu bangsa akan menghadapi masalah yang lebih besar lagi karena tantangan yang semakin berat. Sebelum membahas peran apa yang dapat dan perlu dilakukan oleh pemerintah dalam mengantarkan bangsanya menuju era persaingan di dekade-dekade mendatang, terlabih dahulu penulis akan membahas faktor-faktor penentu keberhasilan pemerintah.

a. Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Pemerintahan
Ditunjukkan oleh riset Bank Dunia yang disinggung pada bagian awal, bahwa faktor penentu nasib yang berbeda-beda dari banyak negara tersebut adalah ketidakefisiensian pemerintah dalam menjalankan urusannya. Pemerintahan yang efisien amat vital bagi tersedianya barang dan jasa untuk warga negaranya serta bagi terselenggaranya pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Peran dasar pemerintah ini bukan tidak disadari oleh mereka yang sedang berkuasa, namun cara menyelenggarakan fungsi itu yang berbeda-bedalah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nasib suatu negara. Menurut Bank Dunia, ada dua strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah negara-negara berkembang dan juga negara maju agar dapat lebih efisien. Yang pertama adalah menyesuaikan peran pemerintah dengan kemampuannya. Saran ini terutama ditujukan kepada negara-negara yang pemerintahnya mudah mengeluarkan anggaran pendapatannya (dan berbagai sumber) maupun kepada pemerintah yang tidak disiplin dalam menggunakan dana yang dimilikinya.[13]
Yang kedua adalah meningkatkan kemampuan pemerintah dengan menyegarkan institusi publiknya. ini artinya pemerintah perlu mengkaji ulang aturan-aturan yang mendistorsi mekanisme pasar, mengurangi kegiatan yang menyimpang dari peran dasar kepemerintahan, mengukur tingkat kegunaan dari setiap program pemerintah, memasukkan unsur persaingan dalam meningkatkan produktivitas, atau mengajak dunia usaha dan masyarakat menangani masalah-masalah bersama.[14]

b. Peran Pemerintah di Masa Depan
Pemerintah semakin disadari tidak mampu melakukan banyak peran dan oleh sebab itu harus memilih kegiatan apa yang perlu dan dapat ditanganinya, dan selebihnya ditangani bersama masyarakat. Kewajiban pemerintah, menurut Bank Dunia, hanyalah 5 hal: (1) menjaga ketertiban, (2) menstabilkan ekonomi, (3) membangun prasarana dan sarana dasar, (4) menyantuni kaum lemah dan (5) melestarikan lingkungan. Banyak pemerintah menganggap remeh kewajiban pertama dan kedua tersebut, yaitu ketertiban dan keamanan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Hampir 80 persen dari pengusaha yang diwawancara di Amerika Latin, Sub-Sahara Afrika, dan Asia Timur oleh Bank Dunia menganggap bahwa pemerintahnya telah tidak mampu melindungi diri mereka dan harta miliknya dari tindakan kriminal. Sebanyak 70 persen menyatakan bahwa ketidakpercayaan terhadap lembaga pengadilan adalah masalah utama dalam menjalankan usaha.
Kekurang-percayaan terhadap sikap pemerintah yang adil kepada semua pihak menyebabkan pengusaha mencari cara-cara informal yang tidak produktif atau menyingkir dari negara itu. Di Indonesia saat ini dan di masa depan, kedua hal tersebut masih merupakan kewajiban pemerintah yang utama. Pemerintah yang tidak kredibel mempunyai ongkos sendiri. Berbagai survei membuktikan bahwa pertumbuhan GDP per kapita mempunyai korelasi positif dengan indeks kredibilitas pemerintah. Ketidak-tertiban yang sudah parah akan sulit ditanggulangi, namun bukan tidak mustahil dapat dikendalikan.
Selanjutnya pemerintah yang akan berhasil menghadapi persaingan di masa depan adalah pemerintah yang mentransformasi diri sehingga mempunyai ciri-ciri wirausaha dalam menjalankan peranannya. Prinsip dari pemerintah yang berjiwa wirausaha adalah: (1) mengarahkan dan bukan mengayuh, (2) milik masyarakat, (3) kompetitif, (4) berorientasi misi, (5) hasil, dan (6) pelanggan; (7) menghasilkan pendapatan, (8) antisipatif, (9) terdesentralisasi, dan (10) berorientasi pasar.[15] Jika sikap wirausaha ini dapat ditanamkan dalam organisasi publik, maka melaksanakan peran-peran pemerintah sebagaimana diuraikan sebelumnya akan menjadi lebih efektif, yaitu mencapai sasarannya yaitu mensejahterakan kehidupan warga negaranya.

c. Tantangan Pemerintah dalam Menjalankan Peran Baru
Lebih dari sekedar menjadi pemerintah yang baik, pemerintah juga perlu menjadi lebih pintar dalam era persaingan global yang semakin keras sekarang ini. Tujuannva adalah untuk menyiapkan pengusaha-pengusaha nasional menjadi pemain yang handal di pasar global, lebih-lebih di pasar lokal. Beberapa hal pokok yang perlu dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut.
Pertama, mendorong penguasaan teknologi informasi dengan membeli, meminta atau bekerjasama dengan pihak-pihak yang telah menguasainya.[16] Dengan jumlah penduduk yang besar, tersebar di ribuan pulau, sumber alam yang dimiliki, Indonesia mempunyai posisi bargaining yang cukup tinggi untuk berkembang menjadi negara maju jika teknologi informasi tersebar luas. Kedua, adalah menyebarluaskan hasil-hasil riset (dari dalam maupun luar negeri) agar dapat digunakan langsung untuk membuat produk baru atau yang lebih baru, yang bernilai ekonomis dan strategis. Ketiga, adalah mendorong perkembangan industri strategis tertentu dengan memberikan bantuan tangible and intangible yang terencana, dikaitkan dengan prestasi ekspor, dan dipantau dengan tingkat kinerjanya. Keempat, memperkuat posisi pengusaha-pengusaha lokal kelas menengah-bawah agar secara kolektif pangsa pasarnya di dalam negeri meningkat, tanpa membuat mekanisme tata niaga baru yang dalam jangka panjang malah membuat mekanisme pasar tidak berlangsung. Kelima, ikut aktif mendampingi pengusaha-pengusaha nasional menghadapi perang dagang yang terbuka maupun tersembunyi dengan pengusaha-pengusaha intemasional, yang secara de facto memiliki pengalaman dan kemampuan yang lebih dalam menyusun strategi-strategi bisnis didukung oleh pemerintah mereka secara terselubung maupun terang-terangan. Upaya ke dua sampai ke lima tersebut dilaksanakan dalam kerangka pengembangan klaster industri sebagaimana digagas dan dipromosikan oleh Michael Porter.[17]
Selanjutnya agar pemerintah dapat lebih efisien berperan maka perlu ada kerjasama antara berbagai pihak di negara itu: pemerintah dengan swasta, pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antarpemerintah daerah, antarpemerintah kota, antara pemerintah itu dengan pemerintah negara lain, antara swasta-swasta, antara pemerintah-swasta-masyarakat, dan lain-lain. Jaringan kerjasama ini merupakan sumber penting untuk mendapatkan informasi dan teknologi, kepercayaan, aliran dana, dll. yang akan bermanfaat untuk menyelesaikan sesuatu masalah, menembus pasar ekspor, mencapai kemajuan seperti yang dicapai pihak lain, dan lain-lain.
Di waktu-waktu mendatang peran pemerintah perlu semakin nyata hadir di masyarakat, namun hal itu harus dilakukan secara terencana dan penuh perhitungan agar efektif, tanpa bermaksud menjadi penentu atau pengarah seperti yang selama ini dilakukan.
Dalam era persaingan global pemrintah harus menyiapkan pengusaha-pengusaha nasional menjadi pemain yang handal di pasar global, lebih-lebih di pasar lokal. Untuk ini banyak yang perlu dilakukan di Indonesia, antara lain: mendorong penguasaan teknologi di semua bidang, menyebarluaskan hasil-hasil riset (dari dalam maupun luar negeri) sambil mencari cara-cara pemanfaatannya, mendorong perkembangan industri strategis tertentu dengan memberikan bantuan tangible and intangible yang terencana, memperkuat posisi pengusaha-pengusaha lokal kelas menengah-bawah agar secara kolektif pangsa pasarnya di dalam negeri meningkat, ikut aktif mendampingi pengusaha-pengusaha nasional menghadapi perang dagang yang terbuka maupun tersembunyi.

5. PERAN ORGANISASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL MENUJU INDONESIA 2025
Sebagai institusi yang bertanggung jawab pada perencanaan bagi pemerintahan dari suatu negara yang demokratis, dengan sistem pemerintahan yang desentralistik, maka organisasi perencanaan pembangunan nasional (selanjutnya disebut Bappenas) akan harus mempunyai peran yang berbeda dari peran yang dijalakannya pada saat ini.
Sejalan dengan fungsi pemerintah yang bergeser dari pelaksana menjadi pengarah, maka peran Bappenas juga menyesuaikan dengan peran pemerintah itu. Bappenas perlu menjadi institusi yang merumuskan tindakan-tindakan pokok pemerintah sebagai pengarah dari kegiatan-kegiatan utama yang dilakukan oleh pemerintah sendiri, pada berbagai tingkatan, dan masyarakat, khususnya dunia usaha. Bappenas perlu memberi masukan kepada Presiden, mengenai hal-hal apa yang sudah harus dilepaskan ke tangan masyarakat, dan sebaliknya menyarankan hal-hal apa yang harus dilakukan secara lebih intensif lagi oleh pemerintah. Terhadap hal-hal yang menjadi urusan pemerintah, maka Bappenas perlu merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam jangka menengah.
Masa depan suatu bangsa akan ditentukan oleh sejauhmana bangsa itu dapat memenangkan dalam persaingan antar bangsa-bangsa, maka Bappenas perlu menjadi institusi yang dapat memberi masukan strategis dan berkualitas kepada Presiden selaku pengambil kebijakan utama bangsa. Masukan oleh Bappenas itu harus berdasar pada pengetahuan yang mendalam, karena persaingan masa depan adalah persaingan berbasis pengetahuan bukan berbasis endowments semata-mata. Oleh sebab itu Bappenas perlu mengutamakan fungsi perencanaan yang strategis daripada perencanaan yang lebih rutin dan berjangka pendek.
Untuk menyiapkan Indonesia memasuki dekade 2020an maka Bappenas harus melakukan transformasi dari lembaga penyusun rencana jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek (tahunan) menjadi lembaga perumus tindakan strategis bangsa dalam jangka menengah berdasarkan pandangan jangka panjang. Sedangkan fungsi perencanaan tahunan perlu diserahkan kepada institusi pelaksana pembangunan (departemen dan lembaga/badan) bersama Departemen Keuangan.
Bappenas perlu menyerahkan fungsi pemantauan pelaksanaan pembangunan kepada institusi yang khusus dibentuk untuk itu (semacam BPKP namun untuk kegiatan implementasi pembangunan). Dengan demikian Bappenas benar-benar hanya berfungsi memikirkan tindakan-tindakan strategis yang harus dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat (khususnya dunia usaha dan lembaga penelitian) dengan tujuan menjaga agar bangsa Indonesia tidak kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Bappenas juga perlu melepaskan fungsi koordinasi perencanaan pembangunan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sesuai dengan tujuan utama kebijakan desentralisasi yang dituangkan dalam UU 32/2004, maka Bappenas perlu memberi kebebasan sepenuhnya kepada setiap pemerintah daerah untuk merencanakan aktivitas pembangunan daerahnya sendiri-sendiri. Sedangkan untuk urusan-urusan yang menjadi kewenangan pusat, maka Bappenas perlu mempunyai kewenangan untuk menentukan dapat tidaknya usulan kebijakan dan program serta kegiatan utama jangka menengah dilaksanakan oleh instansi teknis. Hal ini untuk menjaga keselarasan antara rencana strategis pembangunan bangsa dengan rencana tindak instansi pelaksana pembangunan pusat.
Dalam menjalankan fungsi yang baru tersebut, Bappenas perlu mengikutsertakan lebih banyak pihak dalam merumuskan rencana-rencana strategis. Dunia usaha, perguruan tinggi/lembaga riset, masyarakat profesional, dll. perlu mendapat kesempatan secara formal untuk membahas rencana tindak sebelum ditetapkan sebagai kebijakan nasional oleh Presiden. Dengan demikian, Bappenas berfungsi sebagai institusi yang memfasilitasi terbentuknya gagasan-gagasan strategis untuk diolah menjadi kebijakan pemerintah.
Peran Bappenas akan diakui oleh Presiden selaku konsumen utama produk Bappenas dan oleh masyarakat luas jika produk-produk Bappenas berkualitas, disampaikan pada waktu yang tepat, tidak ada produk-produk pengganti, dikomunikasikan secara efektif.

6. POSTUR ORGANISASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
a. Pola Koordinasi dan Integrasi antar Bidang dan Fungsi Pembangunan di dalam Organisasi
Sebagaimana diuraikan di bagian terdahulu, peran pemerintah yang sesuai dengan tuntutan masa depan adalah efisien, berorientasi pada pelayanan, terbuka, berjiwa wirausaha dan desentralistik. Maka Bappenas sebagai organisasi perencanaan pembangunan nasional yang merupakan bagian dari pemerintah juga harus menunjukkan peran yang sama. Untuk menghasilkan suatu produk rencana strategis yang berkualitas, maka Bappenas harus mampu memadukan berbagai elemen yang ada dalam organisasinya secara terpadu. Koordinasi yang baik antara bagian-bagian dalam Bappenas (yang juga mencerminkan fungsi-fungsi pembangunan) merupakan kondisi yang diperlukan agar peran sebagai lembaga perencanaan nasional dapat terlaksana secara efisien. Koordinasi yang baik dicapai dengan menerapkan satu atau beberapa pendekatan sesuai dengan situasi yang dihadapi. Beberapa pendekatan tersebut adalah: komunikasi, partisipasi, fasilitasi, negosiasi, manipulasi, dan koersi.[18]
Pendekatan komunikasi dilakukan dengan memberikan informasi tentang kebijakan yang ditetapkan, disertai alasan-alasan yang rasional, dengan cara seminar, diskusi atau komunikasi informal seperti coffee morning sebagaimana yang sudah berlangsung di Bappenas. Partisipasi dilakukan dengan mengajak bagian-bagian dalam organisasi Bappenas, terutama yang resisten terhadap kebijakan yang ditetapkan, untuk terlibat memikirkan dan mengambil keputusan. Komitmen dari kelompok yang lebih luas diperlukan agar pihak-pihak yang resisten kemudian bersedia melakukan misi utama Bappenas. Bilamana diperlukan, maka kepada bagian-bagian yang sulit untuk dikoordinasi difasilitas untuk melakukan perubahan sikap sehingga bersedia mematuhi kebijakan yang ditetapkan. Jika koordinasi masih sulit dilakukan maka proses negosiasi dengan dapat diselenggarakan secara formal atau informal. Cara-cara lain dapat dilakukan jika masalah koordinasi akan menyebabkan fungsi utama Bappenas tidak bisa berjalan.
Koordinasi dapat berjalan baik jika ada kerjasama yang baik antar bagian di lingkungan Bappenas. Kerjasama yang baik didukung motivasi yang kuat dari seluruh staf Bappenas untuk secara bersama-sama menunjukkan kinerja yang prima bagi masyarakat Indonesia. Dari sisi staf, motivasi untuk bekerjasama muncul dari keinginan untuk mengabdi kepada negara melalui organisasi pemerintah yaitu Bappenas, untuk mendapatkan pekerjaan yang menyenangkan, untuk memperoleh gaji yang memadai, dll. Motivasi ini perlu mendapat perhatian dari manajemen Bappenas.

b. Pola Koordinasi dan Integrasi antar Bidang dan Fungsi Pembangunan dengan Pemangku Kepentingan
Koordinasi yang baik dengan stakeholders juga diperlukan agar visi pembangunan jangka panjang yaitu membangun Indonesia yang maju, mandiri dan adil terwujud. Koordinasi dengan pihak-pihak lain tentunya merupakan tugas dan kewenangan Presiden, walau demikian Bappenas dapat berperan agar koordinasi tersebut dapat berjalan baik. Dalam hal ini Bappenas perlu menyediakan informasi yang lengkap mengenai visi Indonesia 2025 tersebut, serta sasaran-sasaran yang akan dituju. Bappenas juga perlu menginformasikan posisi Indonesia saat ini, sebagaimana yang dibahas di bagian terdahulu, serta konsekunsi yang dihadapi jika semua komponen bangsa, khususnya instansi-instansi pelaksana jika tidak bertindak secara tidak terkoordinasi. Informasi yang perlu disampaikan kepada pihak-pihak lain tersebut juga termasuk data, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai negara-negara lain, visi jangka panjang yang akan mereka tuju, dsb.
Dalam membantu Presiden agar berbagai upaya semua komponen bangsa berlangsung secara terpadu, maka Bappenas perlu secara aktif menyelenggarakan dialog dengan stakeholders, tidak hanya kepada instansi pemerintah lain tetapi juga dengan pihak-pihak lebih luas, seperti dunia usaha, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dll. Dialog tidak berhenti dengan selesainya RPJPN, namun berlangsung terus sehingga visi Indonesia 2025 menjadi visi bersama. Indikator bahwa visi Indonesia 2025 telah menjadi shared vision adalah jika setiap instansi pemerintah dan non-pemerintah mempunyai pandangan yang sama dan dapat menjelaskan secara tepat apa visi bersama tersebut.[19]

c. Kuantitas dan Kualitas SDM Bappenas
Untuk dapat mewujudkan visi Indonesia yang maju, adil dan mandiri pada tahun 2025, maka Bappenas perlu didukung oleh staf dalam jumlah yang memadai dan mempunyai kualitas yang tinggi. Jumlah staf yang perlu dimiliki Bappenas tidak harus banyak, karena Bappenas tidak harus melakukan semua pekerjaan perencanaan secara sendiri, namun dapat dioutrsourcingkan kepada BPS, LIPI, perguruan tinggi, dsb. Bappenas cukup mempunyai staf dalam jumlah 60-100 orang, namun dengan kualitas yang prima. Kualitas SDM Bappenas yang diharapkan adalah yang mampu melihat persoalan bangsa jauh ke depan, mampu memberikan alternatif untuk diputuskan atau disarankan kepada Presiden, mampu merumuskan solusi secara cepat dengan menggunakan peralatan teknologi maju, mampu mengantisipasi tantangan yang menyebabkan visi dan rencana yang ditetapkan dapat tidak terwujud, mampu berkomunikasi dengan instansi pemerintah lain dan masyarakat luas, seperti KADIN, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dll; mampu bekerjasama dalam suatu team dengan konsisten pada kebenaran namun siap mengakui kebenaran orang lain.

d. Budaya Organisasi Bappenas
Budaya organisasi Bappenas adalah norma-norma perilaku, sosial dan moral yang mendasari setiap tindakan di lingkungan Bappenas dan dibentuk oleh kepercayaan, sikap, dan prioritas staf Bappenas.[20] Budaya organisasi terbentuk oleh elemen-elemen budaya yang dapat dikelompokkan dalam budaya yang terlihat dan budaya tidak terlihat. Elemen-elemen dalam budaya terlihat adalah: lambang, slogan, ritual, kegiatan protokoler, cara berperilaku termasuk cara berbusana. Sedangkan elemen-elemen dalam budaya tak terlihat adalah antara lain: nilai-nilai pokok, filosofi, asumsi, kepercayaan, proses berpikir dan bekerja, dan sejarah organisasi. Bappenas sebagai organisasi yang berorientasi pada kemajuan telah memiliki sebagian dari elemen-elemen budaya organisasi tersebut. Namun beberapa elemen belum ada atau belum dikenal oleh setiap staf Bappenas.
Budaya organisasi Bappenas yang perlu dikembangkan antara lain adalah: pemahaman bahwa Bappenas telah berperan sejak awal kemerdekaan sebagai Dewan Perancang Nasional, kemudian menjadi Bappenas dengan menghasilkan Repelita-Repelita yang telah berhasil mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang dihormati dari segi ekonomi dan politik internasional, pola pikir Bappenas yang berskala nasional untuk menjaga keutuhan bangsa namun berorientasi mikro dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, cara bekerja yang rasional berbasis data, cara berkomunikasi yang dialogis untuk menyamakan visi dan strategi, memberi peluang bagi berbagai komponen bangsa untuk berpartisipasi dalam merumuskan visi jangka panjang.
Secara keseluruhan Bappenas perlu menampilkan bentuk organisasi yang mengarahkan potensi bangsa untuk mencapai tujuan jangka panjang, bertanggung jawab pada Presiden maupun kepada masyarakat, mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi bangsa, dan terlibat aktif membangun daya saing bangsa.
Sedangkan budaya organisasi terlihat yang dapat dikembangkan oleh Bappenas adalah sebuah slogan seperti berikut.[21]
Datanglah kepada rakyat
Hiduplah bersama rakyat
Belajarlah dari rakyat
Rencanakanlah bersama rakyat
Bekerjalah bersama rakyat
Mulailah dengan apa yang diketahui rakyat
Bangunlah apa yang dimiliki rakyat
Ajarilah dengan contoh
Belajarlah dengan bekerja


e. Nilai-nilai Inti Bappenas
Untuk dapat berfungsi secara maksimal sebagai lembaga perencanaan pembangunan nasional yang berperan merumuskan tindakan-tindakan strategis mencapai masyarakat maju, adil dan mandiri pada tahun 2025, maka Bappenas harus memiliki nilai-nilai inti yang perlu dipahami, diakui dan diwujudkan oleh setiap staf Bappenas dalam berperilaku sehari-hari. Nilai-nilai inti Bappenas diusulkan sebagai berikut: jujur, mendorong perubahan, obyektif, berpikir positif, berwawasan global, idealis, bermotivasi tinggi, enerjetik, intelektual, mempunyai spirit untuk maju. Nilai-nilai inti Bappenas tersebut diyakini akan menjadikan Bappenas menjadi organisasi pemerintah yang menyelesaikan masalah, membawa perubahan yang positif bagi bangsa Indonesia, dan menjadi bawahan sekaligus mitra yang dapat diandalkan oleh Presiden.

--o0o--



REFERENSI
Deepa Narayan (ed), Empowerment and Poverty Reduction, 2002.
Hartarto Sastrosoenarto, Industrialisasi serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa Menuju Visi Indonesia 2030, Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Kotler, Philip, et.al., Pemasaran Keunggulan Bangsa (terjemahan), Prenhallindo, 1997.
Muhammad Najib, Mencoba Mewujudkan Indonesia yang Lebih Demokratis melalui Perencanaan Pembangunan Bersama Masyarakat, dalam Haryo Winarso et.al. (ed), Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia, 2002.
Osborne, David dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik (terjemahan), PPM, 1992.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.
Rhenald Kasali, Change !, Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Porter, Michael E., The Competitive Advantages of Nations, 1990.
World Bank, The Quality of Growth, 2000.
World Bank, The State in a Changing World, 1997.


[1] Ekonomi menjadi indikator kemajuan bangsa, namun tidak berarti hal-hal lain (seperti budaya dan politik) dari kehidupan bangsa tidak penting. Pada umumnya, tingkat kemajuan ekonomi sejalan dengan kemajuan pada bidang-bidang lain.
[2] Penilaian terburuk Indonesia adalah terutama pada kinerja ekonomi dan kualitas infrastruktur. Sedangkan aspek infrastruktur yang dinilai adalah kualitas infrastruktur dasar, infrastruktur ilmu pengetahuan dan teknologi, dan infrastruktur kesehatan dan lingkungan. Dalam kinerja ekonomi, hasil survei yang rendah untuk Indonesia terkait dengan kinerja industri manufaktur yang lemah. Kinerja perdagangan dunia (ekspor-impor) menunjukkan kinerja cukup baik karena terbantu oleh harga produk pertanian dan pertambangan yang sedang membaik.
[3] Sebagai perbandingan, inflasi yang sehat bagi pertumbuhan ekonomi adalah di bawah 5%.
[4] Keinginan menurunkan inflasi, yang berpengaruh pada nilai tukar rupiah, harus mengorbankan tingkat suku bunga, yang membawa konsekuensi buruk bagi sektor riil.
[5] Misalnya China yang mencapai pertumbuhan 10% lebih secara ajeg sejak akhir tahun 1990an.
[6] Sektor manufaktur, misalnya, pernah tumbuh hanya 2% pada awal tahun 2006. Hal ini menyebabkan pengangguran meningkat secara akumulatif. Pertumbuhan investasi yang rendah (2,9% pada saat itu) dan impor bahan baku dan barang modal yang rendah menjadi penyebab mengapa sektor industri yang menjadi tulang punggung perekonomian setiap bangsa menjadi lemah.
[7] Indonesia memang penghasil utama beberapa komoditas seperti CPO dan karet, tetapi harga komoditas ini di pasar dunia justru ditentukan oleh negara lain yang mempunyai kekuatan beli tinggi sehingga menentukan harga jual yang harus diterima Indonesia.
[8] Thailand misalnya, yang pada beberapa tahun lalu nilai ekspornya lebih rendah dari Indonesia, kini sudah di atas 100 miliar dollar AS, jauh melampaui Indonesia yang lebih kaya SDA dan SDM.
[9] Bahan baku masih sangat mendominasi impor Indonesia, yaitu 78,25 persen (2005) dan 75,75 persen (2006). Tingginya porsi bahan baku impor ini menimbulkan kerentanan ekonomi Indonesia pada nilai tukar mata uang asing, terutama dolar AS.
[10] Pasar domestik terus-menerus diserbu produk manufaktur impor yang legal maupun ilegal, menyebabkan produsen barang sejenis, baik skala besar menengah, apalagi skala kecil, mengalami penurunan omzet dan selanjutnya keuntungan menurun, PHK meningkat, dan daya beli masyarakat melemah.
[11] Brazil dapat menjadi contoh bagaimana pemerintah yang serius membangun kemampuan iptek dapat meningkatkan kinerja perekonomian. Setelah memberlakukan undang-undang perindustrian baru pada tahun 1996, Brazil mendorong penelitian dan pengembangan inovasi baru yang terbukti mampu mendongkrak investasi asing dari 4,4 miliar dollar AS tahun 1995 menjadi 32,8 miliar dollar AS pada tahun 2000.
[12] Setiap pengambilan kebijakan strategis dalam mengurangi subsidi BBM, harus didahului dengan riset ilmiah, sehingga tujuan kebijakan itu dapat secara efektif tercapai tanpa akibat samping yang berat dan berkepanjangan seperti pada kebijakan pengurangan subsidi BBM bulan Oktober 2005 yang berakibat pada kemunduran ekonomi sampai tahun 2007.
[13] Prinsip jangan ”besar pasak daripada tiang” ini dilakukan oleh banyak pemerintahan pada berbagai tingkatan, terutama yang menganut paham bahwa pemerintah mempunyai banyak kewajiban yang harus dipenuhi untuk membangun negara, kendati kemampuannya tidak memadai. Kepada mereka disarankan agar meninjau kembali apa-apa yang perlu dilakukan, apa-apa yang tidak perlu dilakukan sendiri, dan bagaimana melakukan apa yang seharusnya dilakukan.
[14] Dua prinsip sederhana itu rupanya banyak dilanggar. Nigeria adalah contoh dari pemerintah yang ”kedodoran” dalam kebijakan fiskalnya ketika rejeki minyaknva langsung habis dipergunakan untuk membiayai berbagai program, sementara Indonesia disebutkan sebagai contoh pemerintah yang lebih bijaksana (pada waktu itu) karena penggunaan rejeki nomploknya lebih terencana. Nigeria telah ceroboh menggunakan dananya yang cukup berlimpah, akibatnya kini Nigeria tidak lebih maju dari negara-negara di Afrika yang tidak mempunyai sumber minyak.

[15] Osborne dan Gaebler dalam bukunya yang terkenal Mewirausahakan Birokrasi (1992).
[16] ICT memungkinkan perkuatan posisi ekonomi, sosial dan politik penduduk miskin sehingga kesejahteraan rakyat dapat meningkat cepat secara signifikan (Deepa, et.al. 2002).
[17] Antara lain dalam Porter, Michael E., The Competitive Advantages of Nations, 1990.
[18] Menurut Kotter dan Schlesinger, 1979 sebagaimana dikutip dari Rhenald Kasali (2005).
[19] Munculnya Visi Indonesia jangka panjang yang dicetuskan oleh berbagai pihak menunjukkan proses koordinasi dalam mengkominikasikan dan mewujudkan RPJPN 2005-2025 masih perlu dilakukan secara lebih intensif dan efektif.
[20] Mengacu pada Turner 1992, sebagaimana dikutip dari Rhenald Kasali (2005).
[21] Dari James Y.C. Yen, 1920, sebagaimana dikutip Muhammad Najib (2002).