Rabu, 19 September 2007

Pengembangan Listrik Pedesaan



I. PENDAHULUAN
Pada tanggal 19 Januari 2005 sekitar 500 orang penduduk dari lima desa di Muara Enim, Sumatera Selatan, berdemonstrasi meminta PLN untuk membangun jaringan listrik ke desa-desa mereka. Mungkin tidak disadari oleh para penduduk desa itu bahwa sehari sebelumnya perhelatan besar Infrastructure Summit baru saja selesai. Pertemuan antara pejabat tinggi pemerintah dengan para calon investor khususnya dari luar negeri itu membicarakan proyek-proyek besar yang menguntungkan untuk ditangani swasta, berhubung pemerintah tidak mempunyai dana besar untuk keperluan membangun infrastruktur yang sangat penting untuk mendorong perekonomian nasional. Para penduduk desa yang belum terlayani listrik itu tentunya menghendaki agar pemerintah juga memperhatikan nasib mereka, yang sebagai warga negara pemilik yang sah dari Republik ini, berhak mendapatkan kesempatan yang sama sebagaimana halnya dengan masyarakat di daerah lain.
Makalah ini membahas masalah penyediaan listrik di pedesaan dan memberikan alternatif solusi penggunaan energi surya bagi desa-desa terpencil yang tidak terjangkau sambungan listrik dari PLN.

II. KRISIS LISTRIK
Krisis listrik telah merata di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hanya pada sistem Jawa-Bali pengadaan setrum dapat dikatakan normal. Wilayah lainnya sudah terbiasa mengalami pemadaman bergilir. Krisis listrik menjadi lebih parah bila diakumulasi dengan masih terdapatnya 46% wilayah di Tanah Air yang belum mendapatkan penerangan.
Untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik secara nasional, pemerintah dan PLN mengeluarkan dua program. Kedua program itu adalah mendirikan PLTU 10.000 MW dan menetapkan target teralirinya listrik 100% di seluruh Tanah Air pada tahun 2020.
Program elektrifikasi 30.000 desa yang belum teraliri listrik oleh PLN membutuhkan dana Rp15 triliun. Pemerintah hanya mampu menyediakan dana untuk program itu sebesar Rp600 miliar tahun ini. Program elektifikasi diarahkan menggunakan pembangkit yang menggunakan bahan bakar murah dan terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga mikrohidro (PLTM). Pelaksanaan elektrifikasi di wilayah terpencil membutuhkan teknologi tepat guna. Lantaran itu, pembangkit listrik dari tenaga matahari dan mikrohidro cocok untuk pedesaan.
Sampai tahun 2020 pertumbuhan penduduk diasumsikan 1,16% per tahun dengan pertimbangan program Keluarga Berencana (KB) cukup berhasil. Selain itu, pertumbuhan ekonomi sekitar 7% per tahun dan dana yang dikeluarkan untuk peoryek kelistrikan US$6 miliar per tahun. Sesuai tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, perkiraan GDP Indonesia akan mencapai US$300 miliar. Dari GDP sebesar itu, pemerintah memiliki kemampuan dana US$6 miliar untuk ketenagalistrikan setara dengan 2% dari GDP.
Kendala terbesar adalah perlunya membangun proyek transmisi yang ekstra ketat di daerah, mengingat singkatnya waktu yang tersedia. Jumlah jaringan transmisi dan distribusi yang harus dibangun harus dihitung dengan memperhatikan penambahan pelanggan yang diestimasi rata-rata 3,1 juta per tahun. Untuk menopang penambahan jumlah pelanggan itu, diperlukan tambahan proyek pembangkit sedikitnya 41.000 MW, jaringan transmisi 29.000 kms (kilo meter sirkit) dan gardu induk 78.000 MVA.
Selain itu, akan ada tambahan jaringan tegangan menengah tegangan rendah 20 KV sepanjang 202.000 kms, jaringan tegangan menengah tegangan rendah 289000 kms dan gardu distribusi 49.000 MVA.

III. KUALITAS LISTRIK PEDESAAN
Sudah umum dipahami bahwa listrik adalah kebutuhan pokok dalam kehidupan saat ini. Sangat jauh perbedaan kehidupan mereka yang mendapat pelayanan listrik dengan yang tidak, ibarat malam dengan siang. Maka sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk menyediakan pelayanan listrik bagi seluruh penduduknya, jika masyarakat yang aman, adil, dan sejahtera menjadi cita-cita bersama. Ketidakmampuan menyediakan listrik kepada semua penduduk sama artinya dengan membiarkan sebagian penduduk untuk hidup di masa lalu dan melupakan masa depan. Oleh sebab itu, mestinya ada upaya besar untuk menyediakan listrik bagi seluruh penduduk yang sampai saat ini belum terjangkau pelayanannya.
Menurut data potensi desa BPS tahun 2003, ada sebanyak 5.758 desa di Indonesia yang belum terlistriki. Persentase desa yang tidak berlistrik terbesar ada di propinsi Papua dan Irian Jaya Barat, di mana lebih dari 60% dari desa-desa di sana tidak terlayani listrik. Desa-desa tanpa listrik lainnya banyak terdapat di NTT, Maluku, Maluku Utara, dan Kalimantan Tengah. Kecuali beberapa propinsi, seluruh propinsi lainnya juga mempunyai desa-desa yang belum terlistriki. Di Jawa Timur, misalnya, masih terdapat 36 desa yang gelap gulita jika malam tiba. Tidak jauh dari ibukota negara, yaitu di propinsi Banten, masih ada 27 desa yang belum mengenal lampu.
Di desa-desa yang sudah termasuki listrik, tidak semua rumah tangga terlayani karena ketidaksanggupan bayar, kesulitan teknis, dll. Diperkirakan ada sebanyak 18 juta rumah tangga yang belum mendapat pelayanan listrik (BPPT, 2004). Jika dari jumlah ini, 60% diantaranya akan dapat terlayani PLN melalui perluasan jaringannya, maka ada sejumlah 7,2 juta rumah tangga yang perlu mendapat layanan listrik non-jaringan. Rumah tangga ini umumnya berada di pedalaman, pulau-pulau terpencil, perbatasan negara, dll.
Mungkinkah menyediakan listrik bagi seluruh rumah tangga tersebut dalam beberapa tahun saja? Dengan asumsi bahwa listrik yang disediakan berupa sistem listrik rumah tenaga surya (solar home system) maka diperlukan biaya sekitar Rp. 32 triliun. Jika 60% dari harga listrik surya ini sanggup dicicil oleh penduduk yang belum terlayani listrik itu, sebagaimana yang telah diujicobakan oleh BPPT di berbagai daerah beberapa tahun yang lalu, maka diperlukan biaya dari anggaran pemerintah sebanyak Rp. 12 triliun.
Selanjutnya jika pemerintah dapat mengupayakan dana hibah untuk pengadaan listrik bersih ini dari lembaga-lembaga internasional, misalnya dari Global Environmental Facilities (GEF), maka anggaran pemerintah yang diperlukan menjadi lebih sedikit. Jika sebagian listrik dapat diperoleh dari pembangkit listrik yang lebih murah, seperti tenaga mikro hidro, tenaga bayu atau tenaga gelombang, yang potensinya tersebar di berbagai daerah juga, maka biaya penyediaan listrik untuk penduduk di desa-desa terpencil semakin sedikit. Umpamakan saja kebutuhan totalnya akhirnya menjadi Rp. 10 triliun. Darimana dana sebesar ini berasal? Tanpa perlu menambah pinjaman luar negeri, sebenarnya dana itu dapat dialokasikan dari APBN. Pada pembahasan Rancangan APBN 2005 yang lalu, setelah melalui pembahasan yang cermat antara Pemerintah dan DPR, ditemukan ada kelebihan dana sebesar Rp. 7 triliun, jumlah ini merupakan hasil dari pengurangan rancangan pengeluaran dan penambahan rancangan penerimaan. Kalau saja sebagian dana penghematan tersebut tidak dialokasikan kembali ke semua instansi pusat untuk menambah anggaran instansi/komite/badan, dll; maka sebetulnya sebagian besar dana penyediaan listrik untuk penduduk di daerah terpencil ini dapat dipenuhi dalam waktu hanya 4-5 tahun saja. Artinya pada pembicaraan RAPBN tahun 2006, basis alokasi anggaran belanja pusat adalah rancangan awal sebagaimana yang diajukan Pemerintah, bukan setelah tercapai kesepakatan dengan DPR. Dengan demikian terdapat anggaran untuk pengadaan listrik tadi, bersamaan dengan kebutuhan dana untuk rekonstruksi Aceh yang sebagian besar dapat dipenuhi dari dana-dana bantuan luar negeri.
Sumber dana lain untuk penyediaan listrik ini adalah dari anggaran sektoral (dana dekonsentrasi), dana bagi hasil dan dana dari daerah sendiri. Dana alokasi yang khusus untuk pengadaan listrik dapat ditambahkan disamping untuk beberapa sektor yang memang memerlukan tambahan pendanaan tersendiri seperti jalan dan air bersih. Untuk propinsi NAD dan Papua (dan Irian Jaya Barat) ada dana tambahan dari dana otonomi khusus yang dapat dimanfaatkan untuk pengadaan listrik non-PLN tadi. Di samping itu, dana-dana lain dapat dialokasikan dari hasil pengurangan beberapa subsidi yang tidak efektif mencapai sasaran yang dituju.

IV. ENERGI SURYA
Meski bukan wilayah yang kaya sinar matahari seperti di Indonesia, banyak negara maju mulai berlomba-lomba memanfaatkan energi matahari sebagai sumber pembangkit energi alternatif. Amerika Serikat misalnya, sudah mengoperasikan pusat pembangkit listrik energi matahari. Spanyol memiliki pembangkit listrik energi matahari yang terbesar di benua Eropa. Sebuah proyek ambisius di bidang ini sedang digarap oleh Australia yang berencana membangun pusat pembangkit energi matahari terbesar di dunia. Proyek raksasa itu akan menelan anggaran sedikitnya 375 juta dolar AS (Rp 3,4 triliun). Proyek itu bertujuan untuk membangun pusat pembangkit energi matahari yang terbesar di dunia. Panel-panel cermin digunakan untuk menangkap sinar matahari yang kemudian diubah menjadi sumber energi. Pembangkit energi ini tidak akan menimbulkan emisi gas CO2 dan suplai energinya bisa memenuhi kebutuhan nasional.
Di Inggris, pembangkit energi alternatif bahkan sudah menjadi perlengkapan rumah tangga. Banyak rumah di London selatan, misalnya, sudah dilengkapi dengan sistem pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga angin. Rumah dengan pembangkit listrik domestik seperti itu kini menjadi tren di Inggris dan di berbagai negara. Pemerintah Inggris sejauh ini belum menunjukkan isyarat akan mewajibkan pemasangan pembangkit listrik domestik seperti itu di setiap rumah. Namun, pemerintah sudah meluncurkan program jangka tiga tahun dengan dana 60 juta poundsterling Rp 135 miliar) untuk mengembangkan dan mendukung microgeneration (pembangkit mikro, alat pembangkit listrik rumah tangga).
Sekitar 80.000 rumah di Inggris kini bisa menghasilkan listrik sendiri dengan unit pembangkit energi mikro. Menurut perkiraan Energy Saving Trust, penggunaan turbin domestik akan mensuplai empat persen kebutuhan listrik di Inggris. Pembangkit listrik tenaga angin itu mengurangi emisi karbondioksida sampai enam persen. Limbah karbon dari penggunaan listrik di Uni Eropa mencapai 8,5 ton sementara alat pembangkit listrik ini hanya menghasilkan limbah karbon kurang dari setengah ton. Menurut Energy Saving Trust, generasi energi ramah lingkungan itu bisa mensuplai lebih dari sepertiga kebutuhan energi dalam kurun waktu beberapa puluh tahun.

V. UPAYA LOKAL PENGADAAN LISTRIK
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengatasi krisis listrik. Pemerintah Kota Balikpapan berencana akan membentuk perusahaan daerah (perusda) kelistrikan. Pendirian perusda tersebut dimaksudkan untuk mengatur pendistribusian pasokan listrik di Kawasan Industri Kariangau KIK) Balikpapan, bersama-sama dengan Gunung Bayan Group. Rencana pembentukan perusda itu sebagai tindak lanjut pascapembangunan PLTU batu bara 2X25 MW dengan nilai investasi mencapai US$ 60 juta yang pembangunannya ditargetkan rampung awal 2009. Pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang merupakan konsorsium antara Gunung Bayan Group dan Pemkot Balikpapan itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di KIK Balikpapan. Perusda yang dibentuk akan ikut di dalam distribusi listrik. Perusda memeroleh keuntungan dari penjualan listrik. Gunung Bayan Group dan Pemkot Balikpapan telah menandatangani kontrak kerja sama untuk memulai pembangunan PLTU batu bara tersebut.
Di Provinsi Kepulauan Riau, lima dari enam kabupaten/kota kesulitan mengatasi keterbatasan infrastruktur kelistrikan. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi di daerah itu menjadi lamban. Hanya Kota Batam yang memiliki pasokan listrik sebesar 300 MW yang dapat memenuhi kebutuhan energi bagi pelanggan di pulau tersebut. Kelangkaan listrik dan ketidakmampuan PLN di lima kabupaten/kota itu memasok listrik bagi pelanggan memicu keterlibatan pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan subsidi melalui anggaran daerah. PLN Natuna termasuk perusahaan listrik yang merugi bila melihat ketidakseimbangan harga pokok produksi dengan harga jualnya kepada pelanggan.
PLN memproduksi satu kWh listrik berkisar antara Rp2.000-Rp2.500, tetapi harus dijual Rp658 per kWh. Untuk menutupi kerugian itu, Pemkab memberi subsidi sekitar Rp1.800 per kWh. Pemadaman bergilir ataupun pemadaman total sudah sering terjadi di kota Pulau Ranai karena pasokan listrik oleh PLN yang sangat terbatas. Di tengah keterbatasan itu, Pemkab Natuna sudah berupaya membeli tambahan mesin generator listrik di masing-masing kecamatan, tetapi mesin-mesin itu belum bisa dioperasikan karena belum memperoleh izin dari PLN sebagai satu-satunya pemasok daya di daerah itu.
Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan oleh pemerintah daerah lain, karena pemerintah pusat tidak mungkin menyelesaikan permasalahan yang terjadi di berbagai daerah secara serentak.

VI. KESIMPULAN
Listrik merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Pemerintah perlu berusaha agar tidak ada wilayah yang tidak teraliri listrik. Jika PLN terkendala untuk melistriki desa-desa terpencil maka pemerintah (pusat dan daerah) perlu melakukannya. Salah satu sarana listrik yang dapat menjangkau wilayah terpencil dan pedesaan adalah listrik energi surya. Pemerintah daerah dan masyarakat perlu mengupayakan agar listrik energi surya ini semakin mudah diperoleh masyarakat sambil menunggu pasokan listrik dari PLN.
--o0o--

DAFTAR PUSTAKA
Hendri Kuok, Konstitusi dan Ekonomi: Kasus UU Ketenagalistrikan, dalam Hadi Soesastro et.al (eds); Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Buku 5 (1997-2005) Krisis dan Pemulihan Ekonomi, 2005
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, 2003
Narayan, Deepa (ed); Empowerment and Poverty Reduction, 2002
Sri Rum Giyarsih; Perwilayahan Layanan Sosial Ekonomi untuk Pengembangan Wilayah Perdeaan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Perencanaan Kota dan Daerah, Vol 1, No 1, Edisi 1 2006
Thomas, Vinod et.al.; The Quality of Growth, 2000
Yamazawa, Ippei and Amakawa, Naoko; Development Strategies Toward the 21st Century, 2002

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda